Wednesday, April 20, 2016

SEJARAH LAHIRNYA AUROD DZIKRUL GHAFILIN


SEJARAH LAHIRNYA AUROD
“ DZIKRUL GHAFILIN “
Oleh : Al Arif Billah KH. Achmad Siddiq
Disampaikan pada tanggal 25 Oktober 1986 dalam acara Pertemuan Rutin Khusus Keluarga Setiap Malam Minggu Legi di Rumah 201.
(direkam oleh Ir. HM. Syakib Sidqi, MSi. Putera ke tujuh al marhum)

Suara Al Arif Billah KH. Achmad Siddiq Al Arif Billah KH. Achmad Siddiq bias di klik dibawah ini :
Assalamu”alaikum war. Wab.
Bismillaahirrohmaanirohiiem .
Pertemuan malam ini merupakan pertemuan rutin setiap malam Minggu legi, yang diaksanakan bertepa-tan dengan hari kelahiranku, semua anak-anakku, mantuku yang ada di Jember sama berkumpul dalam rangka mendengarkan atau bermusyawarah tentang segala sesuatu yang menjadi kemaslahatan keluarga. Keluarga itu menurut bahasa arab adalah USRO, seperti misalnya Usro Ali Shiddiq atau Usro Bani Shiddiq, yang berarti keluarga anak cucu-nya Mbah Shiddiq.
GUS MIEK pernah dawuh (menyatakan); bahwa besok bila Bapak Achmad Siddiq meninggal (wafat) yang menjadi peninggalannya (warisannya) cuma satu yaitu “ Dzikrul Ghafilin “. Ketika mendengar dawuh Gus Miek itu hatiku sumendal, ya terharu, ya gembira bercampur susah. Sebab aku sendiri merasa tidak memiliki apa-apa yang dapat dijadikan warisan (pada anak-anakku), dunia  (harta)  tidak,  ilmu  juga  tidak.  Sebab aku merasa bahwa ilmu Agamaku sedikit sekali, kesempatan anak-anak belajar Agama dariku tidak banyak (sangat terbatas), sehingga sebenarnya aku tidak memiliki peninggalan yang patut untuk dijadi-kan pusaka atau warisan seperti misalnya dalam bentuk amal, kelakuan, atau akhlak ataupun tinggalan yang berupa kebagusan atau amal sholih, aku merasa tidak memiliki.
Aku merasa.... diantara saudara-saudaraku, akulah yang paling bodoh dalam bab Agama, karena aku tidak katek (sempurna) ketika mondok  (mencari ilmu), aku cuma keluaran sekolah Salafiyah, Madra-sah Ibtidaiyah Salafiyah/ Stanawiyah sampai kelas 6 kemudian pulang. Kitab yang aku pelajari dari KH. Hasyim Asy’ari terbatas sekali, jadi aku ini kalau bab lika likunya agama merasa sangat kekurangan, lebih-lebih dalam bab hukum. Apalagi bila akan dijadikan peninggalan, wong  aku dewe (aku sendiri  saja)  tidak mengerti  dan  tidak  alim.
Jadi aku sendiri merasa tidak memiliki sesuatu yang dapat dijadikan peninggalan .(tinggalan); oleh kare-nanya, setelah Gus Miek dawuh begitu maka aku menjadi terharu campur syukur bila itu memang dianggap warisan (peninggalan) aku. Sebab sebenar-nya Dzikrul Ghafilin itu kepunyaan Kyai Chamid (Pasuruan) dan Gus Miek, aku cuma sebagai penulis, peracik  dan perangkum.
Memang, sebenarnya untuk diketahui anak-anakku tidak perlu aku tutup-tutupi (dirahasiakan), bahwa sesengguhnya Dzikrul Ghafilin  itu garapannya orang tiga, ini supaya kamu mengerti duduk permasalahan-nya, yaitu Gus Miek dan KH. Chamid :
Prtama; aku sowan pada Kyai Chamid, oleh Beliau aku diberi ijazah membaca Fatichah 100 kali dan Asmaul Chusna.
Kedua, kemudian aku sowan pada Gus Miek ketika Gus Miek berada di rumah Pak Marliyan (Comboran), disana (di rumah Pak Marliyan) rundingan sampai sekitar jam 03.00 pagi, nah ketika itu Gus Miek menambah Istighfar 100 kali, shalawat 300 kali dan tahlil 100 kali, ini dari Gus Miek. Ila Hadhoroti... Ila Hadhoroti itu dari Saya............, tapi.... semua itu dijadikan satu dan dapat RESTU dari GUS MIEK .....
Ketiga, pada kesempatan lain aku sowan kepada Kyai Chamid untuk mencocokkan, malahan aku membaca ( Dzikrul Ghafilin ) disamping Beliau dan aku masih ingat betul, aku membaca semuanya dan begitu sampai pada bacaan :
ثم الى حضرة القطب الكبير سيّدى الشيْخِ عبد السلام ابن مشيش
itu sa’rentet lalu Kyai Chamid ngguguk (mena-ngis) dan aku yang membaca sampai nderedek (gemetar), akan tetapi tetap aku teruskan sam-pai selesai. Karena aku bermaksud untuk men-tashehkan (minta diteliti dan dikoreksi), (hal ini dilakukan) untuk minta ijazah, begini ini betul atau tidak.
Keempat, Do’a yang terahir itu dari aku sedang shala-watnya ( shalawat munjiyat ) dari Gus Miek, selain itu hasil usaha aku mengumpulkan dari berbagai sumber, itulah Dzikrul Ghafilin.
Dzikrul Ghafilin itu memang memiliki isyarah (lamat), bahwa garapan orang tiga tersebut ada isyarahnya (onok lamate); malah ada yang menjuluki Tsulatsi (Tri Tunggal). Jadi kamu semua (anak, mantu dan cucuku) supaya mengerti bahwa Dzikrul Ghafilin itu mulai dari proses  perangkaian dan sebagainya  terjadi pada bulan Sya’ban dan mulai diamalkan (di Mushalla PPI. As Shiddiqi Putera) pada awal bulan Puasa sampai tanggal 20 Ramadhan, pada tahun 1973.
Gus Miek sering kali menanyakan atau mengingatkan; (Apakah Dzikrul Ghafilin) itu disebut karangannya Bapak Achmad Siddiq; ada yang menjawab tidak !. Dalam Dzikrul Ghafilin cuma ditulis “ Katabahu dst ” artinya: yang menulis aku ( KH. Achmad Siddiq ), me-mang yang menyuruh (dawuhi) untuk menulis seperti itu Gus Miek. disuruh menerangkan sebagai berikut :
كتبه الظالم لنفسه أحقر البشر وافقرهم الى عفو الغـفار الحاج احمد صديق المولود فى جمبار
Lafal kalimat di atas itu dari Gus Miek, memang disuruh begitu ya kuturuti, kemudian Dzikrul Ghafilin dicetak seperti yang ada sekarang ini.
Jadi, kalau Dzikrul Ghafilin ini disebut warisan aku, yang pada dasarnya aku cuma ngepek jeneng (atas nama), dan bukan warisanku sendiri. Bahwa Dzikrul Ghafilin merupakan warisan dari Kyai Chamid dan Gus Miek sedangkan aku sebagai perangkai.
Setelah Dzikrul Ghafilin dicetak, aku bermimpi medapat restu dari :
1.  Kyai Chamid Pasuruan dan Kyai Abul Chalim Shiddiq, beliau berdua berada dalam kamarku dan aku masuk (perasaanku begitu) malah Kyai Chamid itu tidak pakai baju, (melihat kedatangan aku) kang Chalim dawuh ; Lha ….... ini tukang pijatnya sudah datang, kemudian aku langsung memijat punggung Kyai Chamid. Ketika memijat itulah aku benar-benar melihat betapa “maaf” bokong/ pantat Kyai Chamid putih dan kelihatan uratnya (pembulu darah) persis seperti kulit bayi. Ketika itulah Kyai Chamid membuka kitab kecil seperti kitab Dzikrul Ghafilin dan membacanya.
Kemudian begitu aku mau keluar dari kamar itu Kyai Chamid berkata sambil bercanda dan menun-juk-nunjuk aku; kata beliau ….he …. Jangan dice-ritakan kalau ( Dzikrul Ghafilin ) itu dari aku…….. kemudian aku malah membalas bercanda seraya menjawab….. enggak ….. nanti akan aku ceritakan.
2.  ( Di lain waktu ) Setelah Dzikrul Ghafilin ini mulai diamalkan aku bermimpi dengan sangat jelas sekali, yaitu bermimpi Kyai Achmad Qusyairi bin Shiddiq, kakangku, nampak sedang menjemputku (menung-gu kedatanganku) di pinggir pantai, sedangkan aku naik kapal yang siap mendarat. Terus aku turun dan disambut oleh Kang Kyai Achmad Qusyairi bin Shiddiq  bersama dengan beberapa orang berjubah bagaikan para Habib, Aku mendatangi Beliau (Kyai Achmad Qusyairi bin Shiddiq) yang kemudian mengajakku berjalan ………. seperti di Makkah….. Kang Kyai Achmad Qusyairi berjalan mendahului sedangkan aku menyusul dibelakangnya akan tetapi kemudian tertinggal jauh ( aku tidak lagi melihat Beliau ).
Kemudian aku bertanya kepada orang Arab (dengan bahasa Arab) : Apakah sampeyan tahu … rumahnya Kyai Achmad Qusyairi ?. Lho …. mereka kok menjawab begini : “Bagaimana aku tidak akan tahu sedangkan dia (Kyai Achmad Qusyairi) selalu mendoakan kamu setiap waktu”.
Selanjutnya aku bertemu Kyai Achmad Qusyairi di Masjidil Haram, beliau dawuh :
Pokoknya selagi kamu memimpin wirid (Dzikrul Ghafilin) aku akan mendo’akan kamu di Ka’bah. Dawuhnya begitu, dengan bahasa arab lagi.
Nah, semua itulah yang menambah aku semakin man-tab bahwa Dzikrul Ghafilin ini mendapat IZIN dan RESTU dari para Sholichin, dan terbukti tanpa dipro-mosikan/dipropagandakan atau juga tanpa diberita-hukan kepada masyarakat, ternyata masyarakat ba-nyak yang (tertarik) ikut….gruduk.. gruduk dan sete-rusnya. Sampai-sampai hampir menyerupai gerakan Thoriqah, padahal  Dzikrul Ghafilin  ini  bukan  Thoriqah  akan tetapi wirid biasa.
Kemudian lucunya…. pernah terjadi disini, ketika itu Kyai Chamid dan Nyai Chamid berada di kamar yang  pojok  itu ( kamar KH. Achmad Siddiq ), kemudian aku dipanggil kesana, lalu  Kyai Chamid kok dawuh begini…: “Ini lho… Nafisah (Nyai Chamid) kepingin ijazah Dzikrul Ghafilin pada sampeyan” ….. aku merasa dipoyoki (digojlok), aku lalu menjawab : “wah bagaimana ini ?…kan sampeyan pemilik Dzikrul Ghafilin ! kok mau ijazah pada aku………?
Walhasil Dzikrul Ghafilin ini, Insya Allah ….. mudah-mudahan mendapat ridha dan pengayoman serta do’anya para Sholichin …..Amiiin.
Jadi, bila Gus Miek … memang dawuh bahwa Dzikrul Ghafilin ini warisanku untuk anak-anak dan kaum, ya… mudah-mudahan wirid ini terus lestari, dan kalau bisa ya… anak-anakku juga mengamalkan, kalau bisa .. ya..! akan tetapi … wirid ini… amalan sunnah … kalau memang cocok ya diamalkan.
Wassalamu’alaikum war.wab.

Diperbanyak dalam rangka Menyambut Haul ke 10 dari Almarhum Al Arif Billah KH. Achmad Siddiq Jember

disalin dari kaset oleh noerfaqiharsyiys
PPI As Shiddiqi Putera Jember, 1993-1994



No comments:

Post a Comment

BACAAN MUROJAAH & DOA TAUBAT