SEJARAH LAHIRNYA
AUROD
“ DZIKRUL
GHAFILIN “
Oleh : Al Arif
Billah KH. Achmad Siddiq
Disampaikan
pada tanggal 25 Oktober 1986 dalam acara Pertemuan Rutin Khusus Keluarga Setiap
Malam Minggu Legi di Rumah 201.
(direkam
oleh Ir. HM. Syakib Sidqi, MSi. Putera ke tujuh al marhum)
Suara
Al Arif Billah KH. Achmad Siddiq Al Arif Billah KH. Achmad Siddiq bias di klik
dibawah ini :
Assalamu”alaikum
war. Wab.
Bismillaahirrohmaanirohiiem
.
Pertemuan malam ini merupakan pertemuan
rutin setiap malam Minggu legi, yang diaksanakan bertepa-tan dengan hari
kelahiranku, semua anak-anakku, mantuku yang ada di Jember sama berkumpul dalam
rangka mendengarkan atau bermusyawarah tentang segala sesuatu yang menjadi
kemaslahatan keluarga. Keluarga itu menurut bahasa arab adalah USRO, seperti
misalnya Usro Ali Shiddiq atau Usro Bani Shiddiq, yang berarti keluarga anak
cucu-nya Mbah Shiddiq.
GUS MIEK pernah dawuh (menyatakan);
bahwa besok bila Bapak Achmad Siddiq meninggal (wafat) yang menjadi
peninggalannya (warisannya) cuma satu yaitu “ Dzikrul Ghafilin “. Ketika
mendengar dawuh Gus Miek itu hatiku sumendal, ya terharu, ya gembira bercampur
susah. Sebab aku sendiri merasa tidak memiliki apa-apa yang dapat dijadikan
warisan (pada anak-anakku), dunia
(harta) tidak, ilmu
juga tidak. Sebab aku merasa bahwa ilmu Agamaku sedikit
sekali, kesempatan anak-anak belajar Agama dariku tidak banyak (sangat
terbatas), sehingga sebenarnya aku tidak memiliki peninggalan yang patut untuk dijadi-kan
pusaka atau warisan seperti misalnya dalam bentuk amal, kelakuan, atau
akhlak ataupun tinggalan yang berupa kebagusan atau amal sholih, aku
merasa tidak memiliki.
Aku merasa.... diantara
saudara-saudaraku, akulah yang paling bodoh dalam bab Agama, karena aku tidak
katek (sempurna) ketika mondok (mencari
ilmu), aku cuma keluaran sekolah Salafiyah, Madra-sah Ibtidaiyah Salafiyah/
Stanawiyah sampai kelas 6 kemudian pulang. Kitab yang aku pelajari dari KH.
Hasyim Asy’ari terbatas sekali, jadi aku ini kalau bab lika likunya agama
merasa sangat kekurangan, lebih-lebih dalam bab hukum. Apalagi bila akan
dijadikan peninggalan, wong aku
dewe (aku sendiri saja)
tidak mengerti dan
tidak alim.
Jadi aku sendiri merasa tidak memiliki
sesuatu yang dapat dijadikan peninggalan .(tinggalan); oleh kare-nanya, setelah Gus Miek dawuh begitu
maka aku menjadi terharu campur syukur bila itu memang dianggap warisan
(peninggalan) aku. Sebab sebenar-nya Dzikrul Ghafilin itu kepunyaan Kyai
Chamid (Pasuruan) dan Gus Miek, aku cuma sebagai penulis,
peracik dan perangkum.
Memang, sebenarnya untuk diketahui
anak-anakku tidak perlu aku tutup-tutupi (dirahasiakan), bahwa sesengguhnya Dzikrul
Ghafilin itu garapannya orang
tiga, ini supaya kamu mengerti duduk permasalahan-nya, yaitu Gus Miek dan
KH. Chamid :
Prtama; aku sowan pada Kyai Chamid, oleh Beliau aku diberi ijazah
membaca Fatichah 100 kali dan Asmaul Chusna.
Kedua, kemudian aku sowan pada Gus Miek ketika Gus Miek berada di
rumah Pak Marliyan (Comboran), disana (di rumah Pak Marliyan) rundingan sampai
sekitar jam 03.00 pagi, nah ketika itu Gus Miek menambah Istighfar 100 kali,
shalawat 300 kali dan tahlil 100 kali, ini dari Gus Miek. Ila Hadhoroti... Ila Hadhoroti itu dari
Saya............, tapi.... semua itu dijadikan satu dan dapat RESTU dari
GUS MIEK .....
Ketiga, pada kesempatan lain aku sowan kepada Kyai Chamid untuk
mencocokkan, malahan aku membaca ( Dzikrul Ghafilin ) disamping Beliau dan aku
masih ingat betul, aku membaca semuanya dan begitu sampai pada bacaan :
ثم
الى حضرة القطب الكبير سيّدى الشيْخِ عبد السلام
ابن مشيش
itu sa’rentet lalu Kyai Chamid ngguguk
(mena-ngis) dan aku yang membaca sampai nderedek (gemetar), akan tetapi tetap
aku teruskan sam-pai selesai. Karena aku bermaksud untuk men-tashehkan (minta
diteliti dan dikoreksi), (hal ini dilakukan) untuk minta ijazah, begini ini
betul atau tidak.
Keempat, Do’a yang terahir itu dari aku sedang shala-watnya (
shalawat munjiyat ) dari Gus Miek, selain itu hasil usaha aku mengumpulkan dari
berbagai sumber, itulah Dzikrul Ghafilin.
Dzikrul Ghafilin itu memang memiliki
isyarah (lamat), bahwa garapan orang tiga tersebut ada isyarahnya (onok
lamate); malah ada yang menjuluki Tsulatsi (Tri Tunggal). Jadi kamu semua
(anak, mantu dan cucuku) supaya mengerti bahwa Dzikrul Ghafilin itu mulai dari
proses perangkaian dan sebagainya terjadi pada bulan Sya’ban dan mulai
diamalkan (di Mushalla PPI. As Shiddiqi Putera) pada awal bulan Puasa sampai
tanggal 20 Ramadhan, pada tahun 1973.
Gus Miek sering kali menanyakan atau mengingatkan; (Apakah Dzikrul
Ghafilin) itu disebut karangannya
Bapak Achmad Siddiq; ada yang menjawab tidak
!. Dalam Dzikrul Ghafilin cuma ditulis “ Katabahu dst ” artinya: yang menulis aku ( KH. Achmad
Siddiq ), me-mang yang menyuruh (dawuhi) untuk menulis seperti itu Gus Miek.
disuruh menerangkan sebagai berikut :
كتبه
الظالم لنفسه أحقر البشر وافقرهم الى عفو الغـفار الحاج احمد صديق المولود فى
جمبار
Lafal
kalimat di atas itu dari Gus Miek, memang disuruh begitu ya kuturuti, kemudian
Dzikrul Ghafilin dicetak seperti yang ada sekarang ini.
Jadi, kalau Dzikrul Ghafilin ini disebut
warisan aku, yang pada dasarnya aku cuma ngepek jeneng
(atas nama), dan bukan warisanku sendiri. Bahwa Dzikrul Ghafilin merupakan
warisan dari Kyai Chamid dan Gus Miek sedangkan aku sebagai perangkai.
Setelah Dzikrul Ghafilin dicetak, aku
bermimpi medapat restu dari :
1. Kyai Chamid Pasuruan dan Kyai Abul Chalim
Shiddiq, beliau berdua berada dalam kamarku dan aku masuk (perasaanku begitu)
malah Kyai Chamid itu tidak pakai baju, (melihat kedatangan aku) kang Chalim
dawuh ; Lha ….... ini tukang pijatnya sudah datang, kemudian aku langsung
memijat punggung Kyai Chamid. Ketika memijat itulah aku benar-benar melihat
betapa “maaf” bokong/ pantat Kyai Chamid putih dan kelihatan uratnya (pembulu
darah) persis seperti kulit bayi. Ketika itulah Kyai Chamid membuka kitab kecil
seperti kitab Dzikrul Ghafilin dan membacanya.
Kemudian
begitu aku mau keluar dari kamar itu Kyai Chamid berkata sambil bercanda dan
menun-juk-nunjuk aku; kata beliau ….he …. Jangan dice-ritakan kalau ( Dzikrul
Ghafilin ) itu dari aku…….. kemudian aku malah membalas bercanda seraya
menjawab….. enggak ….. nanti akan aku ceritakan.
2. ( Di lain waktu ) Setelah Dzikrul Ghafilin ini
mulai diamalkan aku bermimpi dengan sangat jelas sekali, yaitu bermimpi Kyai
Achmad Qusyairi bin Shiddiq, kakangku, nampak sedang menjemputku (menung-gu
kedatanganku) di pinggir pantai, sedangkan aku naik kapal yang siap mendarat.
Terus aku turun dan disambut oleh Kang Kyai Achmad Qusyairi bin Shiddiq bersama dengan beberapa
orang berjubah bagaikan para Habib, Aku mendatangi Beliau (Kyai Achmad Qusyairi
bin Shiddiq) yang kemudian mengajakku berjalan ………. seperti di Makkah….. Kang
Kyai Achmad Qusyairi berjalan mendahului sedangkan aku menyusul dibelakangnya
akan tetapi kemudian tertinggal jauh ( aku tidak lagi melihat Beliau ).
Kemudian aku bertanya
kepada orang Arab (dengan bahasa Arab) : Apakah sampeyan tahu … rumahnya Kyai
Achmad Qusyairi ?. Lho …. mereka kok menjawab begini : “Bagaimana aku tidak
akan tahu sedangkan dia (Kyai Achmad Qusyairi) selalu mendoakan kamu setiap
waktu”.
Selanjutnya aku bertemu
Kyai Achmad Qusyairi di Masjidil Haram, beliau dawuh :
“Pokoknya
selagi kamu memimpin wirid (Dzikrul Ghafilin) aku akan mendo’akan kamu di
Ka’bah.
Dawuhnya begitu, dengan bahasa arab
lagi.
Nah, semua itulah yang menambah aku semakin man-tab bahwa
Dzikrul Ghafilin ini mendapat IZIN dan RESTU dari para Sholichin, dan terbukti tanpa dipro-mosikan/dipropagandakan
atau juga tanpa diberita-hukan kepada masyarakat, ternyata masyarakat ba-nyak
yang (tertarik) ikut….gruduk.. gruduk dan sete-rusnya. Sampai-sampai hampir
menyerupai gerakan Thoriqah, padahal
Dzikrul Ghafilin ini bukan Thoriqah akan tetapi wirid biasa.
Kemudian lucunya…. pernah terjadi disini, ketika itu Kyai
Chamid dan Nyai Chamid berada di kamar yang
pojok itu ( kamar KH. Achmad
Siddiq ), kemudian aku dipanggil kesana, lalu
Kyai
Chamid kok
dawuh begini…: “Ini lho… Nafisah (Nyai Chamid) kepingin ijazah
Dzikrul Ghafilin pada sampeyan” ….. aku merasa dipoyoki (digojlok), aku lalu
menjawab : “wah bagaimana ini ?…kan sampeyan pemilik Dzikrul Ghafilin ! kok mau
ijazah pada aku………?
Walhasil Dzikrul Ghafilin ini, Insya Allah ….. mudah-mudahan
mendapat ridha dan pengayoman serta do’anya para Sholichin …..Amiiin.
Jadi, bila Gus Miek … memang dawuh bahwa Dzikrul Ghafilin
ini warisanku untuk anak-anak dan kaum, ya… mudah-mudahan wirid ini terus
lestari, dan kalau bisa ya… anak-anakku juga mengamalkan, kalau bisa ..
ya..! akan tetapi … wirid ini… amalan sunnah … kalau memang cocok ya diamalkan.
Wassalamu’alaikum war.wab.
Diperbanyak dalam rangka Menyambut Haul ke 10 dari Almarhum
Al Arif Billah KH. Achmad Siddiq Jember
disalin dari
kaset oleh noerfaqiharsyiys
PPI As
Shiddiqi Putera Jember, 1993-1994
No comments:
Post a Comment