Sunday, July 18, 2021

Mengaji Pemikiran Keislaman dan Kebangsaan kepada KH. Achmad Siddiq Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA.

 

Mengaji Pemikiran Keislaman dan Kebangsaan kepada KH. Achmad Siddiq

Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA.

 

Pengantar

Saya sangat bersyukur pernah mengaji kepada KH. Achmad Siddiq dalam rentang waktu yang cukup lama (1978 s.d 1987). Beliau langsung yang membimbing saya kaifiyah sholat yang benar. Beliau langsung yang membimbing dasar-dasar keislaman dan fikroh nahdliyah, sehingga jelas mana ranah yang tidak boleh didiskusikan (ta’abbudy) dan mana ranah yang boleh didiskusikan secara panjang lebar (ta’aqquly). Semua yang dibimbing beliau ini kelak membentuk pemahaman  yang sangat berharga bagi pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat, khususnya ketika pernah menjalani pengabdian selama 30 tahun Mengurus MUI Kabupaten Jember dan sejak tahun 2015 sebagai Ketua dan Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, apa yang beliau bimbing ternyata menjadi dasar-dasar strategis dalam membahas problem keislaman dan kebangsaan.

 

KH. Achmad Siddiq adalah tokoh besar, putra bungsu pasangan KH.  Muhammad Siddiq bin KH. Abdullah dengan Nyai Hj. Zakiah  (Nyai  Maryam)  binti  KH.  Yusuf. Masa pendidikan KH. Achmad Siddiq dibina tokoh-tokoh besar seperti KH. Muhammad Siddiq, KH. Mahfudz Siddiq, KH. M. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahid Hasyim, dan mendampingi tokoh besar (sebagai Sekretaris Pribadi KH. A. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI), sehingga memiliki sanad pendidikan dan pemikiran yang membanggakan. 

Namun demikian, meskipun KH. Achmad Siddiq akhirnya sebagai tokoh besar, sebagai Rois ‘Am PBNU 1984-1991, kehidupan beliau tetap sederhana; kediaman beliau satu-satunya tidak berubah dan beliau tempati sampai akhir hayat. Pesantrennya tetap sederhana dan tidak memperkenankan santrinya meminta bantuan kepada siapapun. Beliau sangat tegas dalam pendirian, tetapi supel dalam pergaulan.

 

Mengenal KH. Achmad Siddiq

Ketika Presiden Soeharto melemparkan gagasan tentang Asas Tunggal Pancasila dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1982, secara diam-diam KH. Achmad Siddiq menyetujuinya. Pendiriannya waktu itu tentu saja menimbulkan kontroversi di kalangan Ulama. 

Namun demikian, dalam Musyawarah Nasional (Munas) Nahdlatul Ulama Tahun 1983 di Situbondo, KH. Achmad Siddiq yang kala itu masih direspon kontroversial dipercaya untuk menyampaikan prasaran tentang konsep penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi politik kemasyarakatan. Lontaran pemikirannya yang menghentakkan justeru di saat umat Islam khususnya warga NU sedang terbuai dalam kegalauan sikap terhadap Pancasila. Kegalauan ini di kalangan Umat Islam menjadi sebuah bahana persoalan. Gelombang emosi dan arus pendapat yang beragam muncul, dari yang apologetik, aprioristik sampai yang moderat dan lebih jernih. Gugus situasi ini menjadikan umat Islam Indonesia seperti kehilangan pegangan. Pada moment seperti itulah KH. Achmad Siddiq tampil piawai.

Argumentasinya yang mendasar dan meyakinkan baik dari segi agama, politik maupun sejarah. Lontaran pemikirannya yang jernih dan segar, ditopang dengan penampilan yang penuh pesona dan kharisma adalah suatu “credit point” yang memungkinkan KH. Achmad Siddiq menaiki puncak kepemimpinan NU pada Muktamar setahun berikutnya.

Menurut KH. Achmad Siddiq, penetapan Asas Tunggal Pancasila merupakan pilihan yang tepat bagi masyarakat plural seperti Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi justru diilhami oleh Piagam Madinah, suatu piagam tentang kesepakatan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dengan berbagai kelompok non-muslim di Madinah untuk membangun masyarakat politik bersama.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa salah satu jasa besar Kiai Achmad adalah upaya menggolkan Asas Pancasila di tubuh NU. Presiden Soeharto dalam pidato resmi pada pembukaan Muktamar NU 1989 di Yogyakarta mengakui hasil upayanya itu, menegaskan bahwa NU adalah satu ormas keagamaan yang memelopori penerimaan asas Tunggal Pancasila, dan (menurut Sitompul, 1989: 176) KH. Achmad Siddiq adalah orang yang boleh dikatakan sebagai konseptor utama keputusan Munas NU tahun 1983 dan Muktamar NU tahun 1984.

Produk “ijtihad” demikian akan berimplikasi panjang dan mendasar bagi kehidupan Umat Islam Indonesia masa depan. Tidak berlebihan jika dikatakan punya implikasi panjang dan mendasar pula bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. 

KH. Achmad Siddiq, nama kecilnya adalah Achmad Muhammad Hasan, lahir di  Jember pada hari  Ahad legi,  24 Januari  1926 (10 Rajab  1344), atau tujuh hari  sebelum  kelahiran Jamiyyah  Nahdlatul  Ulama, dan  wafat  pada hari  Rabu, 23 Januari  1991  (7 Rajab  1411)  di  Surabaya. 

KH. Achmad Siddiq adalah  putra bungsu dari pasangan Kiai  Muhammad Siddiq bin KH. Abdullah dari Lasem dengan isteri  keduanya, Nyai Hj. Zakiah  (Nyai  Maryam)  binti  KH.  Yusuf dari Rambipuji Jember. Semua saudara KH. Achmad Siddiq kelak menjadi tokoh yang sangat disegani, yaitu: (1) KH. Manshur Shiddiq, salah seorang putranya adalah KH Ali Mansur, yang dikenal sebagai Pencipta Syi’ir Sholawat Badar yang terkenal tidak hanya di Indonesia, bahkan sampai di Malaysia dan Brunei, dan akhirnya wafat dan dikebumikan di Jember, (2) Nyai Hajjah Roichanah, salah seorang putranya yang dikenal sebagai Waliyullah KH. Abd. Hamid Pasuruan. Wafat dan dimakamkan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, (3) KH. Achmad Qusyairi Shiddiq, yang dikenal banyak mengarang kitab, antara lain adalah Inarotud Duja, Wasilatul Hariyah, dan sebagainya, dan akhirnya wafat dan dimakamkan di Pasuruan, (4) KH. Machmud Shiddiq, salah seorang putranya adalah KH. A. Hamid Wijaya, pendiri Ansor dan sekaligus menjadi Ketua GP Ansor yang pertama, wafat dan dimakamkan di di Jember, (5) KH. Mahfudz Shiddiq, adalah Ketua Umum PBNU semasa KH. Moh. Hasyim Asy’ari yang menjadi pemikir modernis NU dan juga pengarang beberapa buku, seperti: Pedoman Tabligh, Taqlid  dan Ijtihad. Wafat dan dimakamkan di Jember, (6) KH. Abdul Halim Shiddiq, dikenal sebagai muballigh dan qori’ pada era tahun 1950 hingga 1960-an, dan sekaligus pendiri Pondok Pesantren Ash-Shiddiqi Putri Jember. Wafat dan dimakamkan di Jember, (7) Nyai Hajah Zainab Shiddiq, pendiri Pondok Pesantren Alawiyah (kini Zainad Shiddiq). Diantara putranya adalah KH. Nadhier Muhammad dan KH Yusuf Muhammad. Keduanya dikenal sebagai aktivis, muballigh dan sekaligus politisi sehingga beberapa periode terpilih sebagai anggota DPR RI, (8) Nyai Hajah Zulaicha, istri dari KH. Moh. Dhofir Salam adalah tokoh dan perintis pendidikan, bahkan termasuk pendiri IAIN Jember, SP IAIN (MAN 1) Jember, PGAN ( MAN 2) Jember, dan Universitas Islam Jember. Selain itu, adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah, (9) KH. Abdullah Shiddiq, pernah menjadi Ketua PWNU Jatim, wafat dan dimakamkan di Jember, dan (10) KH Achmad Shiddiq

Ketika berusia dua tahun,  KH Achmad Shiddiq sudah  ditinggal wafat  ibunya yang wafat di Laut Merah dalam perjalanan pulang ibadah haji dari tanah suci, Makkah. Tujuh  tahun  kemudian, disusul ayahnya wafat ketika  KH Achmad Shiddiq belum genap berusia  sepuluh tahun.  Sejak itu, kakaknya, KH. Mahfudz Siddiq mendapat  tugas untuk membesarkan dan membina KH Achmad Shiddiq.  Dari  pengasuhan  inilah KH Achmad Shiddiq banyak  mewarisi  sifat  dan karakter sang kakak, yang memiliki watak sabar,  tenang,  dan  sangat  cerdas.  Wawasan  berpikirnya  amat  luas,  baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum. 

Menurut  silsilah, KH Achmad Shiddiq adalah  keturunan  ke-15 dari  Joko Tingkir,  pendiri  Kerajaan  Islam  di  Pajang.  Secara lengkap dapat  disebutkan, KH Achmad Shiddiq putra Kiai Muhammad Siddiq, putra Kiai Abdullah (Lasem), putra Kiai  Muhammad Shaleh Tirtowijoyo, putra Kiai  Asy’ari, putra Kiai Adra’i, putra Kiai Muhammad Yusuf, putra Mbah Sambu, putra Raden Sumonegro, putra Raden Pringgokusumo  (Adipati  Lasem  III),  putra Joyonegoro,  putra            Pangeran Joyokusumo, putra Hadijoyo, putra Pangeran Benowo II, putra Pangeran Benowo I, putra Sultan Hadiwijoyo alias Joko Tingkir alias Mas Karebet. Dari garis Mbah Sambu itulah silsilah Kiai  Achmad bertemu dengan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. 

Dalam  menjalani Pendidikan KH Achmad Shiddiq tidak belajar kepada  satu guru atau kiai  saja. sedikitnya  ada  lima orang  yang banyak mempengaruhi  jalan hidup Kiai  Achmad,  baik dalam  pemikiran  maupun  sepak terjangnya. Kelima orang tersebut  adalah  KH.  Muhammad  Siddiq, ayahandanya sendiri, KH.  Muhammad Hasyim  Asy’ari  Pendiri  dan  pengasuh  pondok pesantren  Tebuireng. KH. A. Wahid Hasyim, KH.  Mahfudz Siddiq, kakaknya  sendiri  yang pernah  menjabat ketua PBNU di  zaman  Jepang,  dan  KH. Abdul Hamid Pasuruan. Orang yang disebut  terakhir ini  malah  dianggap sangat  berperan  besar dalam  membentuk perilaku tasawufnya. Bahkan, KH Achmad Shiddiq pernah  menuturkan  bahwa KH. Abdul  Hamid Pasuruan  adalah  pengayom  dan  pembimbingnya di  bidang spriritual. Namun demikian, tokoh yang sangat idolakan KH Achmad Shiddiq ialah Nabi Muhammad Saw.

Selain berguru kepada  ayahanda dan  kakaknya,  KH Achmad Shiddiq mulai  memasuki  Tebuireng,  setelah  belajar pada Sekolah  Rakyat  Islam  dan Belajar agama  dengan  ayahnya di  Jember.  Ia belajar kitab-kitab  agama pada Hadratus Syaikh  KH. Muhammad Hasyim  Asy’ari, antara lain belajar; Tuhfatul Athfal, FathulQarib (pada tingkat dasar), Tahrir, Fathul Muin (Fiqih), Alfiyah ibn Malik (Ilmu Bahasa  Arab),  Arudl wa Qawafi  (sastra),         Jawahir al-Kalamiyah       (teologi), Waraqat  (Usul  Fiqih),  Ilmu Falak,      Mizan al-Qawim, Uqudul Juman (sastra), serta Tafsir Baidlowi dan Ihya Ulumuddin. 

KH Achmad Shiddiq juga belajar di  Madrasah Nidhamiyah-nya KH. A. Wahid  Hasyim. Bahkan KH Achmad Shiddiq memperoleh  kesempatan menjadi ‘kelompok intelektual  santri’  yang secara khusus dikader oleh  KH.  A. Wahid Hasyim. Dalam  kelompok terbatas  itulah,  KH. A. Wahid Hasyim  selalu mendiskusikan perkembangan politik nasional.103 Berkat kecerdasan, kesahajaan, dan  kemampuan  KH Achmad Shiddiq di  bidang menulis  dan  berpidato, tumbuhlah kedekatannya dengan  KH. A. Wahid Hasyim. Perhatian KH. A. Wahid Hasyim sangat  besar kepadanya,  mulai  dari  urusan belajar sampai  menyusun konsep kegiatan  atau keilmuan.  Bahkan,  KH Achmad Shiddiq masuk barisan depan daftar “antrian  didikan khusus KH. A. Wahid Hasyim, membawahi KH. Saifuddin Zuhri dan KH. Idham Chalid. Sebagai santri garda depan, Kiai Achmad pun diangkat menjadi pengajar pesantren, kader utama, dan  selanjutnya  menjadi  sekretaris pribadi  KH.  A. Wahid Hasyim. 

Di Tebuireng, KH Achmad Shiddiq berkawan dengan Kiai A. Muchith Muzadi, KH. Shodiq Machmud, dan KH. Ahmad Mursyid. KH. Shodiq Machmud, dan KH. Ahmad Mursyid sama-sama berasal dari Jember. Menurut  penuturan  KH. Abdul  Muchith  Muzadi,  KH Achmad Shiddiq pernah  satu kamar dengannya. Kiai Abdul Muchith Muzadi yang pernah menjadi sekretaris pribadi KH Achmad Shiddiq mengakui  kecerdasan  dan kehati-hatian KH Achmad Shiddiq. Salah  satunya ketika KH Achmad Shiddiq meminta Kiai  Muchith  untuk menuliskan  makalahnya tentang hubungan  Islam  dan  Pancasila untuk Munas Nahdlatul Ulama di  Situbondo.  Selama proses pembuatan  itu KH Achmad Shiddiq meminta Kiai  Muchith  Muzadi  agar tidak memberitahu isi  atau rumusan  makalahnya kepada siapapun, termasuk kepada isterinya KH. Abdul Muchith Muzadi. 

Menurut KH. Abdul Muchith Muzadi, karir dan  perjuangan  KH Achmad Shiddiq dimulai  pada tahun  1945 ketika ia berusia 19 tahun,  KH Achmad Shiddiq menjadi  koordinator GPII  (Gerakan Pemuda Islam  Indonesia) untuk daerah  Jember  dan  Besuki.  Aktivitasnya di organisasi  kepemudaan  yang berafiliasi  pada Masyumi,  tampaknya membuat hubungannya dengan  KH.  A. Wahid Hasyim tak pernah  putus.  Karirnya di GPII  menanjak dan  mengantarkan Kiai Achmad menjadi  pengurus tingkat  Provinsi Jawa Timur.  Dan,  pada Pemilu 1955 ia  terpilih sebagai  anggota DPR Daerah Sementara Jember.  Perjuangannya mempertahankan  kemerdekaan  RI juga tak bisa dinafikan,  khususnya perjuangan  bersama Laskar Mujahidin/PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat) pada tahun 1947.

Sementara itu, pengabdian KH Achmad Shiddiq di  pemerintahan  berawal  dari  posisi  sebagai Kepala  Kantor Urusan  Agama (KUA) Situbondo dan Bondowoso, Jawa Timur. Kemudian meningkat menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Timur sampai  tahun  1971.  Pada tahun 1955-1957 dan 1971 KH Achmad Shiddiq menjadi  anggota DPR RI.  Tetapi, tak lama kemudian, Kiai Achmad mengundurkan  diri dari  parlemen;  ia mengatakan: “Saya selalu berbicara keras soal  Nasakom.” 

Sepengetahuan penulis, sejak  1977, KH Achmad Shiddiq kembali  ke kota kelahirannya, Jember,  untuk memimpin Pondok Pesantren  Islam  As-Shiddiqi  Putra hingga tahun 1991.  Pada tahun  1977 KH Achmad Shiddiq mulai  mengajarkan  dan  mengembangkan  pemikiran  tasawufnya secara intens melalui  ceramah, pengajian, serta gerakan  ritual  yang terhimpun  dalam jamaah Dzikir  al-Ghafilin.  Melalui aurad Dzikir al-Ghafilin, KH Achmad Shiddiq berikhtiar untuk menciptakan suasana dan iklim  religius guna membentengi  masyarakat dalam  menghadapi  modernitas dalam arus global. Modernitas,  bagi  Kiai  Achmad dipandang sebagai sesuatu yang banyak menimbulkan dampak negatif (mudarat) dari pada positif.  Selain membimbing  jamaah  Dzikir al-Ghafilin, KH Achmad Shiddiq juga mendidik santri-santrinya melalui pengajian kitab kuning, seperti Tafsir al-JalalainRiyadh         al-Shalihin, Hadis  Shahih  Muslim, Risalat  al-Muawanah, Fathal-Qaribal-Mujib  (Taqrib),  Kifayat  al-Akhyaral-Adzkarihya’ ‘ulum  al-Din, al-Din al-Islam, dan sebagainya. Bahkan setiap malam selasa, KH Achmad Shiddiq menyelenggarakan pengajian yang secara khusus diikuti oleh para kiai, akademisi, dan birokrat di Kabupaten Jember.

Di lingkungan NU, karir KH Achmad Shiddiq di mulai dari Jember. Tidak lama setelah  itu,  KH Achmad Shiddiq aktif  di  NU wilayah Jawa Timur,  hingga  terpilih ketua umum  tingkat  wilayah. Karirnya terus berkembang hingga  pada Muktamar NU ke-27 tahun  1984 di  Situbondo  Jawa Timur yang mengantarkannya ke kursi Ra’is ‘Am PBNU periode 1984-1989. Terangkatnya KH Achmad Shiddiq sebagai Ra’is ‘Am PBNU waktu itu bukan tanpa alasan. KH Achmad Shiddiq tampaknya sudah lama di lirik oleh para tokoh NU, di karenakan kepiawaian, kepandaian, dan kecerdasannya. 

Duet kedua tokoh yang berlangsung sejak muktamar NU ke-27 tahun 1984 di  Pesantren  Asembagus, Stubondo  Jawa Timur, dinilai sebagai tokoh yang sanggup merangkul  kembali  para sesepuh  NU yang sempat  bercerai  berai akibat  mufaraqah-nya (pemisahan diri) K.H. As’ad Syamsul  Arifin sehubungan dengan penolakannya  terhadap kepemimpinan  PBNU  hasil  Muktamar ke-28 di Yogyakarta. Menjelang Muktamar NU ke-28,  kesehatan  KH Achmad Shiddiq terus memburuk.  Ia mengidap penyakit  kronis yang menderanya sejak lama;  kencing  manis, jantung, ginjal, hati, saraf, dan oestoporosis (tulang keropos). Anehnya, dalam kondisi yang kritis, warga NU tetap menginginkannya untuk memangku jabatan Ra’is ‘Am. 

KH Achmad Shiddiq jatuh  sakit  ketika menghadiri  Munas Majelis Ulama Indonesia di  Jakarta pada tahun  1990.  Setahun  kemudian  (1991), KH Achmad Shiddiq terbaring dengan tubuh tak berdaya di  kamar inap RS Dr.  Soetomo. Kepada  pengurus PBNU, Kiai sempat mengatakan, “Tugas saya di NU sudah selesai.” Kalimat ini sekaligus menjadi penanda bahwa ajal akan tiba. Tepat pada tanggal 23 Januari 1991, KH Achmad Shiddiq mengembuskan  nafas terakhir. Tetapi, sebelum  meninggal  Kiai  Achmad pernah  berpesan  kepada  keluarganya agar dikubur bersama di pemakaman para penghafal al-Qur’an di kompleks Pondok Pesantren Ploso, Mojo  Kediri, yang juga diyakini  sebagai makam para wali (Auliya’) penghafal al-Qur’an. 

 

Karya KH. Achmad Siddiq

Meskipun KH. Achmad Siddiq tidak termasuk kiai yang produktif menulis, tidak  sedikit  karya yang sempat  dipublikasikan, meskipun  tidak semuanya dalam  bentuk buku utuh. Dari hasil penelusuran terhadap berbagai sumber, diperoleh informasi karya tulis  KH. Achmad Siddiq, antara lain: 

a.    Pedoman Berpikir Nahdlatul  ‘Ulama  (al-FikraH an-Nahdhiyyah). Buku ini membahas Lima Dalil Perjuangan yaitu dasar-dasar pikiran  yang  dipergunakan imam-imam mujtahid di dalam berijtihad atau ber-istinbath tentang masalah-masalah hukum  agama Islam, seperti tentang: jihad fi sabilillah, izzul islam wal muslimin, at-tawasuth/al-i’tidal/at-tawazun, saddud dzari’ah dan amar ma’ruf nahi munkar.  Selain itu juga membahas  kaidah-kaidah didalam mengolah dalil-dalil dan dasar-dasar hukum (berijtihad dan beristinbath oleh Imam-Imam Mujtahid terutama Imam Syafi’i), seperti tentang: (1) segala sesuatu dinilai menurut niatnya, (2) bahaya harus disingkirkan, (3) adat kebiasaan dikukuhkan, (4) sesuatu yang sudah yakin tidak boleh dihilqangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, dan (5) kesukaran (kemasyakatan) membuka kelonggaran. 

b.    Khiththah  Nahdhiyyah.  membahas secara detail ciri jamaah diniyah, kedudukan ulama, ahlusunnah wal jamaah, bahaya-bahaya  bagi  kemurnian  ajaran agama Islam, karakter at-tawassuth waal-itidal, pola berorganisasi, konsepsi  dakwah, mabarrat,  ekonomi, muamalah, dan penutup ‘izzu al-Islam wa al-Muslimin. Buku ini terus mengalami cetak ulang, terakhir diterbitkan oleh Penerbit Khalista Surabaya.

c.    Islam, Pancasila, dan  Ukhuwwah Islamiyyah, membahas garis-garis besar Islam, Islam Indonesia, hubungan Pancasila dengan  Islam,  pengembangan  Ukhuwwah  Islamiyyah, dan integrasi nasional. 

d.    Pemikiran K.H. Achmad Siddiq. Buku ini  berisi  konsepsi seputar akidah, syariat, tasawuf, dan khitthah  NU 1926, hubungan  agama dan  Pancasila, negara RI  bentuk Final,  watak sosial  ahlusunnah, serta seni dan agama. 

e.    Norma-norma Pancasila menurut  Pandangan  Islam. Tulisan ini  menjelaskan  hubungan  antara agama Islam  dan  Pancasila  dan mendudukkan  antara keduanya pada kedudukan  yang semestinya, sehingga keduanya tidak perlu dipertentangkan.

g.    Hubungan  Agama dan  Pancasila, karya yang menjelaskan  hakikat  Islam  dan berbagai  variannya, kemudian  dijelaskan  materi  Pancasila, hubungan antara Islam  dan  Pancasila, sehingga menjadi  sebuah ideologi  bangsa Indonesia.

i.  Pemulihan  Khittah  Nahdlatul  Ulama, makalah  yang  didiskusikan  di  rumah  KH. Masykur,  Jl.  Imam  Bonjol  22, Jakarta, 13 Desember 1983), sebagai  bahan  Munas (Musyawarah  Nasional) alim  ulama di  Situbondo  Jawa Timur.  

j.     Pengembangan Ukhuwwah Islamiyyah, makalah, tidak  diketahui identitasnya.  Tulisan  ini  menjelaskan  tiga wawasan, yaitu wawasan  keagamaan,  kemasyarakatan,  dan  kesemestaan (universalitas). Ketiga wawasan ini terwujud dalam tri-ukhuwwah, yakni ukhuwwah Islamiyyah, wathaniyyah dan basyariyyah.

k.  Dzikr  al-Ghafilin  li Man  ahabba an Yuhsyar ma  al-Auliya’  wa al-Shalihinmajmuah min badh Ashhab al-Dua  wa al-Ijazah.  Buku ini diterbitkan  tanpa tanggal  dan  tahun, berisi  tentang asmaal-husna, tawashshulbial-fatihah, shalawat al-muqarrabin, berbagai doa, dan lain-lain.  Buku  ini  kemudian  dijadikan pedoman  jamaahnya dalam pelaksanaan wirid Dzikir al-Ghafilin

Selain karya-karya tersebut, juga terdapat karya sejumlah ahli yang membahas pemikiran KH. Achmad Siddiq, antara lain, karya: Einar Martahan Sitompul, M. Th.,  karya Prof. Dr. M. Rasjidi, dan karya Prof. Mr. Syafruddin Prawiranegara. Karya Einar Martahan Sitompul, M. Th., tentang NU dan Pancasila, Tesis S.2. 1989. Karya ini menjelaskan secara akademik pemikiran KH. Achmad Siddiq tentang NU dan Asas Tunggal Pancasila, tentang Islam dan Pancasila, dan sebagainya.

Karya Prof. Dr. M. Rasjidi dalam Hendak Dibawa Kemana Umat Ini?, 1988. Karya ini secara kritis menyoroti karya dan pemikiran KH. Achmad Siddiq terkait Hubungan Islam dan Pancasila dan konsep tri-ukhuwwah, yakni: ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyah, dan ukhuwwah basyariyah. Guru Besar Filsafat Islam dan mantan Menteri Agama tersebut menilai pemikiran Kiai Achmad tidak jelas dan membingungkan umat.

Demikian juga penilaian Prof. Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Insaniyah, 1988, secara spesifik menyoroti pemikiran tentang tri-ukhuwwah, yakni: ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyah, dan ukhuwwah basyariyah yang dinilai membingungkan. 

Namun demikian, pemikiran yang tercover lewat sejumlah karya dan satu karya para ahli yang mengkaji pemikiran KH. Achmad Siddiq, menunjukkan bahwa karya KH. Achmad Siddiq bukan hanya menyita pemikiran KH. Achmad Siddiq, tetapi juga memperoleh respons dari berbagai kalangan. Namun para pengkaji masalah keislaman dan kebangsaan, banyak yang memberikan respons positif terhadap karya-karya dan pemikiran KH. Achmad Siddiq.

 

Kerangka Pemikiran KH. Achmad Siddiq

Sebagaimana dikemukakan dalam usaian sebelumnya, bahwa kebesaran KH. Achmad Siddiq bukan diukur dari sejumlah kitab dan buku-buku yang ditulis, karena KH. Achmad Siddiq memang bukan seorang jurnalis dan penulis produktif. Melainkan dari produk “ijtihad” yang berimplikasi panjang dan mendasar, bahkan bersifat revolusioner terhadap kehidupan dan pemikiran keislaman dan kebangsaan. 

Dalam berbagai momentum, KH. Achmad Siddiq selalu pro-aktif menyikapi problem aktual dari perspektif keislaman dan kebangsaan. Penyikapan beliau selalu berpijak dari pedoman berpikir atau kerangka berpikir keagamaan yang beliau design sendiri secara sederhana sejak tahun 1960-an dan dikenal dengan konsep “Fikroh Nahdliyah, berisi Lima dalil Perjuangan dan Lima dalil Hukum”. 

Menurut KH. Achmad Siddiq, yang dimaksud lima dalil perjuangan adalah patokan-patokan pikiran didalam menanggapi soal perjuangan di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan lain-lain, sekaligus penyusunan program perjuangan dan pelaksanaan program perjuangan. Lima dalil perjuangan dimaksud, meliputi: (1) Jihad Fi Sabulillah, (2) Izzul Islam wal Muslimin, (3) At-Tawassuth/Al-I’tidal/At-Tawazun, (4) Saddudz Dzari’ah, dan (5) Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Sedang yang dimaksud lima dalil hukum oleh Kiai Achmad adalah patokan-patokan pikiran yang dipergunakan imam-imam mujtahid di dalam berijtihad/beristimbath tentang masalah-masalah hukum agama Islam, terutama oleh imam-imam madzhab syafi’i. 

Lima dalil hukum dimaksud, meliputi: (1) segala sesuatu dinilai menurut niatnya, (2) bahaya harus disingkirkan, (3) adat kebiasaan dikukuhkan, (4) sesuatu yang sudah yakin tidak boleh dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, dan (4) kesukaran (kemasyakatan) membuka kelonggaran. 

Dengan demikian, menurut KH. Achmad Siddiq, lima dalil perjuangan digabungkan dengan lima dalil hukum  ini merupakan sepuluh dalil berpikir, ibarat dua pasang mata secara bersama dipergunakan melihat, meneliti dan menilai segala sesuatu, termasuk persoalan keagamaan, persoalan kebangsaan, dan sebagainya..

Meskipun demikian, tidaklah dimaksudkan dengan mengerti dan memahami lima dalil hukum ini saja, kemudian kita menjadi mujtahid di bidang hukum fighiyah, karena untuk memiliki kewenangan berijtihad diperlukan syarat-syarat khusus yang meliputi seluk beluk Qur’an, Hadits, Qiyas dan bahasa arab yang mendalam. Dengan memahami ini, dimaksudkan supaya kita lebih mudah dan lebih menyadari kebenaran madzhab Syafii khususnya dan jalan pikiran Ahlussunnah Wal Jamaah pada umumnya.

Menurut Dr (HC) KH. Afifuddin Muhajir, berpikir dari perspektif keagamaan seperti yang dilakukan oleh KH. Achmad Siddiq juga banyak dikemukakan oleh kiai-kiai, yang memiliki keahlian dalam filsafat dan kaidah-kaidah hukum Islam, namun ditangan KH. Achmad Siddiq, pandangan keagamaan seperti itu bisa diungkap secara aktual dengan ungkapan yang menarik sehingga membuat pendengar sangat tertegun. 

Itu juga bagian dari kemampuan KH. Achmad Siddiq dalam berkomunikasi, dan menyoroti permasalahan yang sedang terjadi, segala sesuatu dilihatnya dari kerangka berpikir keagamaan, yang beliau sebut sebagai dalil perjuangan dan dalil hukum, termasuk ketika berpikir tentang keislaman dan kebangsaan. 

Hal yang paling berkesan bagi kami yang belajar pada beliau adalah ketika memetakan pemikiran keislaman dalam konteks yang berubah, termasuk pemikiran keislaman dan kabangsaan. Menurut beliau, hal yang pertama harus diposisikan secara benar bahwa Islam adalah “wadl’un ilahiyyun” (buatan Tuhan), Pancasila adalah “wadl’un basyariyyun” (buatan manusia). Ini yang tidak boleh saling dipertukarkan.

Dalam “wadl’un ilahiyyun (buatan Tuhan), ada ranah “ma’lumun minad diyni bidh-dharuroh” dan “ma’lumun minad diyni bil ijtihad”. Ranah “ma’lumun minad diyni bidh-dharuroh” adalah ranah yang tidak perlu diperdebatkan, harus diterima sebagai bentuk ketundukan seorang hamba kepada penciptanya, sedang ranah “ma’lumun minad diyni bil ijtihad” adalah ranah yg masih bisa diperdebatkan dan didiskusikan.

Dengan demikian dalam “wadl’un basyariyyun” (buatan manusia) sangat terbuka untuk diperdebatkan, didiskusikan, yang penting tujuannya jelas untuk mencapai kemashlahatan, salah satu yang termasuk dalam ranah ini adalah Pancasila, ukhuwwah wathaniyah, dan sebagainya.

Oleh karena itu, ketika Munas 1983 KH. Achmad Siddiq secara memukau mampu memberikan argumentasi penerimaan Azaz Tunggal Pancasila dengan argumen keagamaan, historis dan sosiologis yang memukau. Secara agama, Islam dan Pancasila tidak perlu dipertentangkan karena memang tidak bertentangan bahkan saling memperkuat, secara historis perumus Pancasila mayoritas tokoh-tokoh Islam, dan secara sosiologis “ibarat makanan Pancasila sudah kita makan 38 tahun lamanya (1945-1983), kok baru sekarang dipertanyakan halal haramnya”. 

Peranan dan Ketokohan KH. Achmad Siddiq menurut KH. Abdul Muchith Muzadi adalah: meluruskan pancasila yang sudah carut marut dengan politik kekuasaan; meletakkan pancasila sebagai dasar negara dan Agama sebagai dasar hidup kita, dan mampu meyakinkan tokoh-tokoh NU yang awalnya menolak asas pancasila dalam forum Munas Alim Ulama.

Selanjutnya, KH. Abdul Muchith Muzadi juga menegaskan bahwa pemikiran KH. Achmad Siddiq yang paling utama adalah bahwa: Pancasila sebagai asas, Islam sebagai aqidah. Menempatkan Islam sebagai asas organisasi kemasyarakatan, keagamaan maupun organisasi politik adalah mengkredilkan Islam. Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan. 

Alasan Syar’iyyahnya: Amanu waamilussholihah, beriman dan beramal sholeh, amal - amal yang baik. Yang dimaksud Amanu adalah berbentuk sila pertama, KETUHANAN YANG MAHA ESA. Amal-amal yang baik adalah 4 perbuatan baik yang terdapat pada 4 sila berikutnya

Kesan Mbah Muchith terhadap pemikiran KH. Achmad Siddiq. “Alhamduliilah, saya bersyukur bangsa Indonesia oleh Tuhan diberi pemimpin yang namanya Kiai Achmad Siddiq yang bisa membedakan aqidah Islamiyah dan aliran politik Islam.” “Pemimpin Islam seperti KH. Achmad Siddiq inilah yang pantas memegang kata kunci ‘Iya/Tidaknya’ Pancasila itu. Pancasila bukan Agama, Agama bukan Pancasila.” 

Selanjutnya, Hasil Muktamar ke-27 Tahun 1984 di Situbondo, berupa: Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila Dengan Islam, sebagai berikut:

  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat rnenggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
  2. Sila Kehutanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari'ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. 
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'at agamanya.
  5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua fihak.

 

Penutup

Kata kunci pemikiran keislaman dan kebangsaan seperti ini sering kami cermati dan juga diikuti oleh santri pada masa tahun 1980-an dalam forum-forum pengajian khusus santri, pengajiann umum maupun pengajian khusus kalangan dosen dan birokrat. Pengajian khusus santri dengan tema “ad-Diynul Islamy” setiap malam Jum’at paling diapresiasi karena KH. Achmad Siddiq parti menyajikan agenda pemikiran keislaman dan kebangsaan terkini yang berkembang di Indonesia dan di dunia Islam, dan santri masih berkesempatan mengikuti pengajian umum malam Senin, atau pengajian khusus dosen dan birokrat pada malam Selasa yang biasanya diikuti santri senior.  

Ini hanya rekaman pengalaman pribadi berguru pemikiran keislaman dan kebangsaan kepada KH. Achmad Siddiq. Setelah sekitar 30 tahun KH. Achmad Siddiq wafat, dan saya menjalani masa pengabdian cukup panjang di organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, saya tetap merasakan apa yang pernah beliau ajarkan tetap memiliki kemanfaatan besar, mungkin inilah berkah beliau mendidik kami dengan penuh keteladanan dan keikhlasan. Semua santrinya memanggilnya dengan sebutan Murobby KH. Achmad Siddiq, karena beliau mendidik kami benar-benar dari hati ke hati dan penuh kasih sayang.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Huda, Afton Ilman, (editor Abd. Halim Soebahar, Biografi Mbah Shiddiq. Jember: Al-Fattah Press

 

Nahid, Abu, dan Kerabat Aula, ed., 1992, Pemikiran KH. Achmad Siddiq tentang: Akidah, Syariah, dan Tasawuf, Khittah NU 1926, Hubungan Agama dan pancasila, Negara RI Bentuk Final, Watak Ahlussunnah, dan Seni dan Agama, Surabaya: Majalah Aula Jawa Timur.

 

Noeh, Munawar Fuad, 1985, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH Ahmad Shiddiq   

 

Latief, KHM, Hasyim. 1995. Laskar Hizbullah.Jakarta:LTN-NU

 

Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

 

Siddiq, Achmad, Khittah Nahdliyah, Surabaya: Khalista.

 

Siddiq, Achmad, 1992, Fikroh Nahdliyah, Surabaya: FOSNNU.

 

Siddiq, Achmad, 1985, Islam, Pancasila dan Ukhuwah Islamiyah, Surabaya: PWNU Jawa Timur.

 

Siddiq, Achmad, 1992, Pemikiran KH. Achmad Siddiq tentang Aqidah Syariah dan tasawuf, Khittah NU 1926, Hubungan Agama dan pancasila, Negara RI Bentuk Final, Watak Sosial Ahlussunnah, Seni dan Agama, Surabaya: PWNU Jawa Timur.

 

Siddiq, Achmad, t.t., Dzikrul Ghafilin, Jember.

 

Suprapto, M. Bibit 2003, Buku Pintar Nahdlatul Ulama, Malang

 

Syihab, Alwi, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga kini di Indonesia,

 

Shiddiq, Abdul Halim KH, t.t., Pengantar Tarikh Hayatul Marhum KH Muhammad Shiddiq, Jember: PP Al-Fattah.

 

Soebahar, Abd. Halim, 1996, KH. Achmad Siddiq: Biografi, Perjuangan dan Pemikirannya tentang Pendidikan Islam, Jember: P3M Fakultas Tarbiyah Jember IAIN Sunan Ampel.

 

Soebahar, Abd. Halim, dkk, 2015, KH. Achmad Siddiq dan Pemikiran Tentang Islam Indonesia, Jember: LP3M IAIN Jember.

 

Zuhri, Saifuddin, 1979, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung: Al-Maarif.

No comments:

Post a Comment

BACAAN MUROJAAH & DOA TAUBAT