K H ACHMAD SIDDIQ (1)
Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA
Ketika Presiden Soeharto melemparkan gagasan tentang
Asas Tunggal Pancasila dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1982, secara
diam-diam Kiai Haji Achmad Siddiq (selanjutnya disebut KH Achmad Siddiq)
menyetujuinya. Pendiriannya waktu itu tentu saja menimbulkan kontroversi di
kalangan Ulama.
Namun demikian, dalam Musyawarah Nasional (Munas)
Nahdlatul Ulama Tahun 1983 di Situbondo, menyikapi wacana yang kala itu masih
direspons kontroversial KH Achmad Siddiq dipercaya untuk menyampaikan prasaran
tentang konsep penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi politik
kemasyarakatan. Lontaran pemikirannya yang menghentakkan justru di saat umat
Islam, khususnya warga NU, sedang terbuai dalam kegalauan sikap terhadap
Pancasila. Kegalauan ini di kalangan umat Islam menjadi sebuah persoalan
serius. Gelombang emosi dan arus pendapat yang beraneka ragam muncul, dari yang
apologetik, aprioristik, sampai yang moderat dan lebih jernih. Gugus situasi
ini menjadikan umat Islam Indonesia seperti kehilangan pegangan. Haruskah awan
sejarah yang pernah mengonfrontasikan Islam dengan Pancasila kembali menyeruak?
Laikkah suatu ideologi produk pemikiran manusia mengganti produk Tuhan? Dan
masih ada selaksa pertanyaan yang pada dasarnya bersumber dari kegalauan dan
kerancuan gelombang pemikiran. Pada momen seperti itulah KH Achmad Siddiq
tampil piawai.
Argumentasinya yang mendasar dan meyakinkan baik dari
segi agama, politik, maupun sejarah. Lontaran pemikirannya yang jernih dan
segar ditopang dengan penampilan yang penuh pesona dan karisma adalah
suatu credit point yang memungkinkan KH Achmad Siddiq
dipercaya mengemban amanah di puncak kepemimpinan NU pada Muktamar setahun
berikutnya.
Menurut KH Achmad Siddiq, penetapan Asas Tunggal
Pancasila merupakan pilihan yang tepat bagi masyarakat plural seperti
Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi justru diilhami oleh
Piagam Madinah, suatu piagam tentang kesepakatan kaum muslimin di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dengan berbagai kelompok non-muslim di Madinah
untuk membangun masyarakat politik bersama.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa salah satu
jasa besar KH Achmad Siddiq adalah upayanya menggolkan Asas Pancasila di tubuh
NU. Presiden Soeharto dalam pidato resmi pada pembukaan Muktamar NU 1989 di
Yogyakarta mengakui hasil upayanya itu, menegaskan bahwa NU adalah satu ormas
keagamaan yang memelopori penerimaan Asas Tunggal Pancasila, dan (menurut
Sitompul, 1989: 176) KH Achmad Siddiq adalah orang yang boleh dikatakan sebagai
konseptor utama keputusan Munas NU tahun 1983 dan Muktamar NU tahun 1984.
Tentu ini adalah bagian dari produk ijtihad KH Achmad Siddiq. Produk ijtihad demikian akan berimplikasi panjang dan mendasar bagi kehidupan Umat Islam Indonesia masa depan. Tidak berlebihan jika dikatakan punya implikasi panjang dan mendasar pula bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Karena bagaimanapun akan menyemburkan warna tersendiri bagi perjalanan umat Islam, bangsa, dan negara Indonesia masa depan.
Oleh karena itu, kebesaran KH Achmad Siddiq bukan
diukur dari sejumlah kitab dan buku-buku yang ditulis, karena KH Achmad Siddiq
memang bukan seorang jurnalis yang produktif menulis. Melainkan dari produk
ijtihad yang berimplikasi panjang dan mendasar, bahkan bersifat revolusioner
terhadap kehidupan dan pemikiran umat Islam dalam kerangka kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dan sepanjang penilaian banyak ahli, KH Achmad Siddiq termasuk
sosok pemikir yang konsisten (Mastuhu, 1987 : 192).
Penulis merasa sangat bersyukur pernah mengaji kepada
KH Achmad Siddiq dalam rentang waktu yang cukup lama (1978 s.d. 1987). Beliau
langsung yang membimbing saya kaifiyah salat yang benar (pada malam
20 April 1982). Beliau langsung yang membimbing dasar-dasar keislaman dan fikroh
nahdliyah, sehingga saya memiliki sedikit pemahaman yang lebih jelas mana ranah
yang tidak boleh didiskusikan (ta’abbudy) dan mana ranah yang boleh
didiskusikan secara panjang lebar (ta’aqquly). Saya sangat merasakan bahwa
semua yang dibimbing beliau ini kelak membentuk pemahaman yang sangat berharga
bagi pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat, khususnya ketika saya pernah
menjalani pengabdian selama 30 tahun mengurus MUI Kabupaten Jember dan sejak
tahun 2015 sampai sekarang mengabdi sebagai Ketua dan Wakil Ketua Umum MUI
Provinsi Jawa Timur, apa yang beliau bimbing ternyata menjadi dasar-dasar
strategis dalam membahas problem dan menyikapi persoalan aktual menyangkut
keislaman dan kebangsaan.
KH Achmad Siddiq adalah tokoh besar, putra bungsu
pasangan KH Muhammad Siddiq bin KH Abdullah dengan Nyai Hj Zakiah (Nyai Maryam)
binti KH Yusuf. Masa pendidikan KH Achmad Siddiq dibina langsung oleh
tokoh-tokoh besar seperti KH. Muhammad Siddiq (abahnya sendiri), KH. Mahfudz
Siddiq (Kakaknya yang pernah menjadi Ketua HBNO/PBNU), KH. M. Hasyim Asy’ari
(Perintis berdirinya NU) dan KH A Wahid Hasyim (Ketua HBNO dan Menteri Agama
RI), dan mendampingi tokoh besar (sebagai Sekretaris Pribadi KH. A. Wahid
Hasyim, Menteri Agama RI), sehingga KH Achmad Siddiq memiliki sanad pendidikan
dan pemikiran yang jelas dan sangat membanggakan.
Namun demikian, meskipun KH Achmad Siddiq sebagai
tokoh besar, sebagai Rais ‘Am PBNU 1984-1991, kehidupan beliau tetap sederhana;
kediaman beliau satu-satunya tidak berubah dan beliau tempati sampai akhir
hayat. KH. Achmad Siddiq dinilai tegas dalam pendirian dan supel dalam
pergaulan. Tokoh yang melahirkan gagasan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan
sesama Islam), ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga bangsa)
dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia) ini dalam
berdakwah sangat memukau dan mampu menyelami filosofi pemikiran audiens, KH
Achmad Siddiq intens berdakwah sesuai bahasa komunitasnya (bersambung).
*Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Wakil Ketua
Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Direktur Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq
Jember dan Pengasuh Pondok Pesantren Shofa Marwa Jember.
No comments:
Post a Comment