Friday, July 23, 2021

KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ (1)

 

K H ACHMAD SIDDIQ (1)

Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA

Ketika Presiden Soeharto melemparkan gagasan tentang Asas Tunggal Pancasila dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1982, secara diam-diam Kiai Haji Achmad Siddiq (selanjutnya disebut KH Achmad Siddiq) menyetujuinya. Pendiriannya waktu itu tentu saja menimbulkan kontroversi di kalangan Ulama.

Namun demikian, dalam Musyawarah Nasional (Munas) Nahdlatul Ulama Tahun 1983 di Situbondo, menyikapi wacana yang kala itu masih direspons kontroversial KH Achmad Siddiq dipercaya untuk menyampaikan prasaran tentang konsep penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi politik kemasyarakatan. Lontaran pemikirannya yang menghentakkan justru di saat umat Islam, khususnya warga NU, sedang terbuai dalam kegalauan sikap terhadap Pancasila. Kegalauan ini di kalangan umat Islam menjadi sebuah persoalan serius. Gelombang emosi dan arus pendapat yang beraneka ragam muncul, dari yang apologetik, aprioristik, sampai yang moderat dan lebih jernih. Gugus situasi ini menjadikan umat Islam Indonesia seperti kehilangan pegangan. Haruskah awan sejarah yang pernah mengonfrontasikan Islam dengan Pancasila kembali menyeruak? Laikkah suatu ideologi produk pemikiran manusia mengganti produk Tuhan? Dan masih ada selaksa pertanyaan yang pada dasarnya bersumber dari kegalauan dan kerancuan gelombang pemikiran. Pada momen seperti itulah KH Achmad Siddiq tampil piawai.

Argumentasinya yang mendasar dan meyakinkan baik dari segi agama, politik, maupun sejarah. Lontaran pemikirannya yang jernih dan segar ditopang dengan penampilan yang penuh pesona dan karisma adalah suatu credit point yang memungkinkan KH Achmad Siddiq dipercaya mengemban amanah di puncak kepemimpinan NU pada Muktamar setahun berikutnya.

Menurut KH Achmad Siddiq, penetapan Asas Tunggal Pancasila merupakan pilihan yang tepat bagi masyarakat plural seperti Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi justru diilhami oleh Piagam Madinah, suatu piagam tentang kesepakatan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dengan berbagai kelompok non-muslim di Madinah untuk membangun masyarakat politik bersama.

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa salah satu jasa besar KH Achmad Siddiq adalah upayanya menggolkan Asas Pancasila di tubuh NU. Presiden Soeharto dalam pidato resmi pada pembukaan Muktamar NU 1989 di Yogyakarta mengakui hasil upayanya itu, menegaskan bahwa NU adalah satu ormas keagamaan yang memelopori penerimaan Asas Tunggal Pancasila, dan (menurut Sitompul, 1989: 176) KH Achmad Siddiq adalah orang yang boleh dikatakan sebagai konseptor utama keputusan Munas NU tahun 1983 dan Muktamar NU tahun 1984.

Tentu ini adalah bagian dari produk ijtihad KH Achmad Siddiq. Produk ijtihad demikian akan berimplikasi panjang dan mendasar bagi kehidupan Umat Islam Indonesia masa depan. Tidak berlebihan jika dikatakan punya implikasi panjang dan mendasar pula bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Karena bagaimanapun akan menyemburkan warna tersendiri bagi perjalanan umat Islam, bangsa, dan negara Indonesia masa depan.

Oleh karena itu, kebesaran KH Achmad Siddiq bukan diukur dari sejumlah kitab dan buku-buku yang ditulis, karena KH Achmad Siddiq memang bukan seorang jurnalis yang produktif menulis. Melainkan dari produk ijtihad yang berimplikasi panjang dan mendasar, bahkan bersifat revolusioner terhadap kehidupan dan pemikiran umat Islam dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan sepanjang penilaian banyak ahli, KH Achmad Siddiq termasuk sosok pemikir yang konsisten (Mastuhu, 1987 : 192).

Penulis merasa sangat bersyukur pernah mengaji kepada KH Achmad Siddiq dalam rentang waktu yang cukup lama (1978 s.d. 1987). Beliau langsung yang membimbing saya kaifiyah salat yang benar (pada malam 20 April 1982). Beliau langsung yang membimbing dasar-dasar keislaman dan fikroh nahdliyah, sehingga saya memiliki sedikit pemahaman yang lebih jelas mana ranah yang tidak boleh didiskusikan (ta’abbudy) dan mana ranah yang boleh didiskusikan secara panjang lebar (ta’aqquly). Saya sangat merasakan bahwa semua yang dibimbing beliau ini kelak membentuk pemahaman yang sangat berharga bagi pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat, khususnya ketika saya pernah menjalani pengabdian selama 30 tahun mengurus MUI Kabupaten Jember dan sejak tahun 2015 sampai sekarang mengabdi sebagai Ketua dan Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, apa yang beliau bimbing ternyata menjadi dasar-dasar strategis dalam membahas problem dan menyikapi persoalan aktual menyangkut keislaman dan kebangsaan.

KH Achmad Siddiq adalah tokoh besar, putra bungsu pasangan KH Muhammad Siddiq bin KH Abdullah dengan Nyai Hj Zakiah (Nyai Maryam) binti KH Yusuf. Masa pendidikan KH Achmad Siddiq dibina langsung oleh tokoh-tokoh besar seperti KH. Muhammad Siddiq (abahnya sendiri), KH. Mahfudz Siddiq (Kakaknya yang pernah menjadi Ketua HBNO/PBNU), KH. M. Hasyim Asy’ari (Perintis berdirinya NU) dan KH A Wahid Hasyim (Ketua HBNO dan Menteri Agama RI), dan mendampingi tokoh besar (sebagai Sekretaris Pribadi KH. A. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI), sehingga KH Achmad Siddiq memiliki sanad pendidikan dan pemikiran yang jelas dan sangat membanggakan.

Namun demikian, meskipun KH Achmad Siddiq sebagai tokoh besar, sebagai Rais ‘Am PBNU 1984-1991, kehidupan beliau tetap sederhana; kediaman beliau satu-satunya tidak berubah dan beliau tempati sampai akhir hayat. KH. Achmad Siddiq dinilai tegas dalam pendirian dan supel dalam pergaulan. Tokoh yang melahirkan gagasan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga bangsa) dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia) ini dalam berdakwah sangat memukau dan mampu menyelami filosofi pemikiran audiens, KH Achmad Siddiq intens berdakwah sesuai bahasa komunitasnya (bersambung).

 

*Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Direktur Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember dan Pengasuh Pondok Pesantren Shofa Marwa Jember.


No comments:

Post a Comment

BACAAN MUROJAAH & DOA TAUBAT