Mengaji Pemikiran
Keislaman dan Kebangsaan kepada KH. Achmad Siddiq
Prof. Dr. H. Abd. Halim
Soebahar, MA.
Pengantar
Saya
sangat bersyukur pernah mengaji kepada KH. Achmad Siddiq dalam rentang waktu
yang cukup lama (1978 s.d 1987). Beliau langsung yang membimbing saya kaifiyah
sholat yang benar. Beliau langsung yang membimbing dasar-dasar keislaman dan
fikroh nahdliyah, sehingga jelas mana ranah yang tidak boleh didiskusikan (ta’abbudy)
dan mana ranah yang boleh didiskusikan secara panjang lebar (ta’aqquly).
Semua yang dibimbing beliau ini kelak membentuk pemahaman yang sangat
berharga bagi pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat, khususnya ketika
pernah menjalani pengabdian selama 30 tahun Mengurus MUI Kabupaten Jember dan
sejak tahun 2015 sebagai Ketua dan Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur,
apa yang beliau bimbing ternyata menjadi dasar-dasar strategis dalam membahas
problem keislaman dan kebangsaan.
KH.
Achmad Siddiq adalah tokoh besar, putra bungsu pasangan KH. Muhammad
Siddiq bin KH. Abdullah dengan Nyai Hj. Zakiah (Nyai Maryam)
binti KH. Yusuf. Masa pendidikan KH. Achmad Siddiq dibina
tokoh-tokoh besar seperti KH. Muhammad Siddiq, KH. Mahfudz Siddiq, KH. M.
Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahid Hasyim, dan mendampingi tokoh besar (sebagai
Sekretaris Pribadi KH. A. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI), sehingga memiliki
sanad pendidikan dan pemikiran yang membanggakan.
Namun
demikian, meskipun KH. Achmad Siddiq akhirnya sebagai tokoh besar, sebagai Rois
‘Am PBNU 1984-1991, kehidupan beliau tetap sederhana; kediaman beliau
satu-satunya tidak berubah dan beliau tempati sampai akhir hayat. Pesantrennya
tetap sederhana dan tidak memperkenankan santrinya meminta bantuan kepada
siapapun. Beliau sangat tegas dalam pendirian, tetapi supel dalam pergaulan.
Mengenal KH. Achmad Siddiq
Ketika Presiden Soeharto melemparkan
gagasan tentang Asas Tunggal Pancasila dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1982,
secara diam-diam KH. Achmad Siddiq menyetujuinya. Pendiriannya waktu itu tentu
saja menimbulkan kontroversi di kalangan Ulama.
Namun demikian, dalam Musyawarah Nasional
(Munas) Nahdlatul Ulama Tahun 1983 di Situbondo, KH. Achmad Siddiq yang kala
itu masih direspon kontroversial dipercaya untuk menyampaikan prasaran tentang
konsep penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi politik kemasyarakatan.
Lontaran pemikirannya yang menghentakkan justeru di saat umat Islam khususnya
warga NU sedang terbuai dalam kegalauan sikap terhadap Pancasila. Kegalauan ini
di kalangan Umat Islam menjadi sebuah bahana persoalan. Gelombang emosi dan
arus pendapat yang beragam muncul, dari yang apologetik, aprioristik sampai
yang moderat dan lebih jernih. Gugus situasi ini menjadikan umat Islam
Indonesia seperti kehilangan pegangan. Pada moment seperti itulah KH. Achmad
Siddiq tampil piawai.
Argumentasinya yang mendasar dan
meyakinkan baik dari segi agama, politik maupun sejarah. Lontaran pemikirannya
yang jernih dan segar, ditopang dengan penampilan yang penuh pesona dan
kharisma adalah suatu “credit point” yang memungkinkan KH. Achmad Siddiq
menaiki puncak kepemimpinan NU pada Muktamar setahun berikutnya.
Menurut KH. Achmad Siddiq, penetapan Asas
Tunggal Pancasila merupakan pilihan yang tepat bagi masyarakat plural seperti
Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi justru diilhami oleh
Piagam Madinah, suatu piagam tentang kesepakatan kaum muslimin di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dengan berbagai kelompok non-muslim di Madinah
untuk membangun masyarakat politik bersama.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa
salah satu jasa besar Kiai Achmad adalah upaya menggolkan Asas Pancasila di
tubuh NU. Presiden Soeharto dalam pidato resmi pada pembukaan Muktamar NU 1989
di Yogyakarta mengakui hasil upayanya itu, menegaskan bahwa NU adalah satu
ormas keagamaan yang memelopori penerimaan asas Tunggal Pancasila, dan (menurut
Sitompul, 1989: 176) KH. Achmad Siddiq adalah orang yang boleh dikatakan
sebagai konseptor utama keputusan Munas NU tahun 1983 dan Muktamar NU tahun
1984.
Produk “ijtihad” demikian akan
berimplikasi panjang dan mendasar bagi kehidupan Umat Islam Indonesia masa
depan. Tidak berlebihan jika dikatakan punya implikasi panjang dan mendasar
pula bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
KH. Achmad Siddiq, nama kecilnya adalah
Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember pada hari Ahad legi,
24 Januari 1926 (10 Rajab 1344), atau tujuh hari
sebelum kelahiran Jam’iyyah Nahdlatul Ulama,
dan wafat pada hari Rabu, 23 Januari 1991 (7
Rajab 1411) di Surabaya.
KH. Achmad Siddiq adalah putra
bungsu dari pasangan Kiai Muhammad Siddiq bin KH. Abdullah dari Lasem
dengan isteri keduanya, Nyai Hj. Zakiah (Nyai Maryam)
binti KH. Yusuf dari Rambipuji Jember. Semua saudara KH. Achmad
Siddiq kelak menjadi tokoh yang sangat disegani, yaitu: (1) KH. Manshur
Shiddiq, salah seorang putranya adalah KH Ali Mansur, yang dikenal sebagai
Pencipta Syi’ir Sholawat Badar yang terkenal tidak hanya di Indonesia, bahkan
sampai di Malaysia dan Brunei, dan akhirnya wafat dan dikebumikan di Jember,
(2) Nyai Hajjah Roichanah, salah seorang putranya yang dikenal sebagai
Waliyullah KH. Abd. Hamid Pasuruan. Wafat dan dimakamkan di Lasem, Rembang,
Jawa Tengah, (3) KH. Achmad Qusyairi Shiddiq, yang dikenal banyak mengarang
kitab, antara lain adalah Inarotud Duja, Wasilatul Hariyah, dan sebagainya, dan
akhirnya wafat dan dimakamkan di Pasuruan, (4) KH. Machmud Shiddiq, salah
seorang putranya adalah KH. A. Hamid Wijaya, pendiri Ansor dan sekaligus
menjadi Ketua GP Ansor yang pertama, wafat dan dimakamkan di di Jember, (5) KH.
Mahfudz Shiddiq, adalah Ketua Umum PBNU semasa KH. Moh. Hasyim Asy’ari yang
menjadi pemikir modernis NU dan juga pengarang beberapa buku, seperti: Pedoman
Tabligh, Taqlid dan Ijtihad. Wafat dan dimakamkan di Jember, (6) KH. Abdul
Halim Shiddiq, dikenal sebagai muballigh dan qori’ pada era tahun 1950 hingga
1960-an, dan sekaligus pendiri Pondok Pesantren Ash-Shiddiqi Putri Jember.
Wafat dan dimakamkan di Jember, (7) Nyai Hajah Zainab Shiddiq, pendiri Pondok
Pesantren Alawiyah (kini Zainad Shiddiq). Diantara putranya adalah KH. Nadhier
Muhammad dan KH Yusuf Muhammad. Keduanya dikenal sebagai aktivis, muballigh dan
sekaligus politisi sehingga beberapa periode terpilih sebagai anggota DPR RI,
(8) Nyai Hajah Zulaicha, istri dari KH. Moh. Dhofir Salam adalah tokoh dan
perintis pendidikan, bahkan termasuk pendiri IAIN Jember, SP IAIN (MAN 1)
Jember, PGAN ( MAN 2) Jember, dan Universitas Islam Jember. Selain itu, adalah
pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah, (9) KH. Abdullah Shiddiq, pernah menjadi
Ketua PWNU Jatim, wafat dan dimakamkan di Jember, dan (10) KH Achmad Shiddiq
Ketika berusia dua tahun, KH Achmad
Shiddiq sudah ditinggal wafat ibunya yang wafat di Laut Merah dalam
perjalanan pulang ibadah haji dari tanah suci, Makkah. Tujuh tahun
kemudian, disusul ayahnya wafat ketika KH Achmad Shiddiq belum genap
berusia sepuluh tahun. Sejak itu, kakaknya, KH. Mahfudz Siddiq
mendapat tugas untuk membesarkan dan membina KH Achmad Shiddiq.
Dari pengasuhan inilah KH Achmad Shiddiq banyak
mewarisi sifat dan karakter sang kakak, yang memiliki watak
sabar, tenang, dan sangat cerdas. Wawasan
berpikirnya amat luas, baik dalam ilmu agama maupun
pengetahuan umum.
Menurut silsilah, KH Achmad Shiddiq
adalah keturunan ke-15 dari Joko Tingkir, pendiri
Kerajaan Islam di Pajang. Secara lengkap dapat
disebutkan, KH Achmad Shiddiq putra Kiai Muhammad Siddiq, putra Kiai Abdullah
(Lasem), putra Kiai Muhammad Shaleh Tirtowijoyo, putra Kiai
Asy’ari, putra Kiai Adra’i, putra Kiai Muhammad Yusuf, putra Mbah Sambu, putra
Raden Sumonegro, putra Raden Pringgokusumo (Adipati Lasem
III), putra Joyonegoro, putra Pangeran
Joyokusumo, putra Hadijoyo, putra Pangeran Benowo II, putra Pangeran Benowo I,
putra Sultan Hadiwijoyo alias Joko Tingkir alias Mas Karebet. Dari garis Mbah
Sambu itulah silsilah Kiai Achmad bertemu dengan KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari.
Dalam menjalani Pendidikan KH Achmad
Shiddiq tidak belajar kepada satu guru atau kiai saja.
sedikitnya ada lima orang yang banyak mempengaruhi
jalan hidup Kiai Achmad, baik dalam pemikiran
maupun sepak terjangnya. Kelima orang tersebut adalah
KH. Muhammad Siddiq, ayahandanya sendiri, KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari Pendiri dan pengasuh pondok
pesantren Tebuireng. KH. A. Wahid Hasyim, KH. Mahfudz Siddiq,
kakaknya sendiri yang pernah menjabat ketua PBNU di
zaman Jepang, dan KH. Abdul Hamid Pasuruan. Orang yang
disebut terakhir ini malah dianggap sangat
berperan besar dalam membentuk perilaku tasawufnya. Bahkan, KH
Achmad Shiddiq pernah menuturkan bahwa KH. Abdul Hamid
Pasuruan adalah pengayom dan pembimbingnya di
bidang spriritual. Namun demikian, tokoh yang sangat idolakan KH Achmad Shiddiq
ialah Nabi Muhammad Saw.
Selain berguru kepada ayahanda dan
kakaknya, KH Achmad Shiddiq mulai memasuki Tebuireng,
setelah belajar pada Sekolah Rakyat Islam dan Belajar
agama dengan ayahnya di Jember. Ia belajar
kitab-kitab agama pada Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari, antara lain belajar; Tuhfatul Athfal, FathulQarib (pada
tingkat dasar), Tahrir, Fathul Mu’in (Fiqih), Alfiyah
ibn Malik (Ilmu Bahasa Arab), Arudl wa Qawafi
(sastra), Jawahir al-Kalamiyah (teologi), Waraqat
(Usul Fiqih), Ilmu Falak, Mizan
al-Qawim, Uqudul Juman (sastra), serta Tafsir Baidlowi
dan Ihya Ulumuddin.
KH Achmad Shiddiq juga belajar di
Madrasah Nidhamiyah-nya KH. A. Wahid Hasyim. Bahkan KH Achmad Shiddiq
memperoleh kesempatan menjadi ‘kelompok intelektual santri’
yang secara khusus dikader oleh KH. A. Wahid Hasyim. Dalam
kelompok terbatas itulah, KH. A. Wahid Hasyim selalu
mendiskusikan perkembangan politik nasional.103 Berkat kecerdasan, kesahajaan, dan
kemampuan KH Achmad Shiddiq di bidang menulis dan
berpidato, tumbuhlah kedekatannya dengan KH. A. Wahid Hasyim. Perhatian
KH. A. Wahid Hasyim sangat besar kepadanya, mulai dari
urusan belajar sampai menyusun konsep kegiatan atau keilmuan.
Bahkan, KH Achmad Shiddiq masuk barisan depan daftar “antrian
didikan khusus KH. A. Wahid Hasyim, membawahi KH. Saifuddin Zuhri dan KH. Idham
Chalid. Sebagai santri garda depan, Kiai Achmad pun diangkat menjadi pengajar
pesantren, kader utama, dan selanjutnya menjadi sekretaris
pribadi KH. A. Wahid Hasyim.
Di Tebuireng, KH Achmad Shiddiq berkawan dengan
Kiai A. Muchith Muzadi, KH. Shodiq Machmud, dan KH. Ahmad Mursyid. KH.
Shodiq Machmud, dan KH. Ahmad Mursyid sama-sama berasal dari Jember.
Menurut penuturan KH. Abdul Muchith Muzadi, KH
Achmad Shiddiq pernah satu kamar dengannya. Kiai Abdul Muchith Muzadi
yang pernah menjadi sekretaris pribadi KH Achmad Shiddiq mengakui
kecerdasan dan kehati-hatian KH Achmad Shiddiq. Salah satunya
ketika KH Achmad Shiddiq meminta Kiai Muchith untuk
menuliskan makalahnya tentang hubungan Islam dan Pancasila
untuk Munas Nahdlatul Ulama di Situbondo. Selama proses
pembuatan itu KH Achmad Shiddiq meminta Kiai Muchith
Muzadi agar tidak memberitahu isi atau rumusan makalahnya
kepada siapapun, termasuk kepada isterinya KH. Abdul Muchith Muzadi.
Menurut KH. Abdul Muchith Muzadi, karir
dan perjuangan KH Achmad Shiddiq dimulai pada tahun
1945 ketika ia berusia 19 tahun, KH Achmad Shiddiq menjadi
koordinator GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) untuk
daerah Jember dan Besuki. Aktivitasnya di
organisasi kepemudaan yang berafiliasi pada Masyumi,
tampaknya membuat hubungannya dengan KH. A. Wahid Hasyim tak
pernah putus. Karirnya di GPII menanjak dan
mengantarkan Kiai Achmad menjadi pengurus tingkat Provinsi Jawa
Timur. Dan, pada Pemilu 1955 ia terpilih sebagai
anggota DPR Daerah Sementara Jember. Perjuangannya mempertahankan
kemerdekaan RI juga tak bisa dinafikan, khususnya perjuangan
bersama Laskar Mujahidin/PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat) pada tahun
1947.
Sementara itu, pengabdian KH Achmad
Shiddiq di pemerintahan berawal dari posisi
sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Situbondo dan Bondowoso,
Jawa Timur. Kemudian meningkat menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Jawa Timur sampai tahun 1971. Pada tahun 1955-1957 dan 1971
KH Achmad Shiddiq menjadi anggota DPR RI. Tetapi, tak lama
kemudian, Kiai Achmad mengundurkan diri dari parlemen; ia
mengatakan: “Saya selalu berbicara keras soal Nasakom.”
Sepengetahuan penulis, sejak 1977,
KH Achmad Shiddiq kembali ke kota kelahirannya, Jember, untuk
memimpin Pondok Pesantren Islam As-Shiddiqi Putra hingga
tahun 1991. Pada tahun 1977 KH Achmad Shiddiq mulai
mengajarkan dan mengembangkan pemikiran tasawufnya
secara intens melalui ceramah, pengajian, serta gerakan
ritual yang terhimpun dalam jamaah Dzikir al-Ghafilin.
Melalui aurad Dzikir al-Ghafilin, KH Achmad Shiddiq berikhtiar
untuk menciptakan suasana dan iklim religius guna membentengi
masyarakat dalam menghadapi modernitas dalam arus global.
Modernitas, bagi Kiai Achmad dipandang sebagai sesuatu yang
banyak menimbulkan dampak negatif (mudarat) dari pada positif. Selain
membimbing jamaah Dzikir al-Ghafilin, KH Achmad
Shiddiq juga mendidik santri-santrinya melalui pengajian kitab kuning, seperti Tafsir
al-Jalalain, Riyadh al-Shalihin,
Hadis Shahih Muslim, Risalat al-Muawanah,
Fathal-Qaribal-Mujib (Taqrib), Kifayat
al-Akhyar, al-Adzkar, ihya’ ‘ulum
al-Din, al-Din al-Islam, dan sebagainya. Bahkan
setiap malam selasa, KH Achmad Shiddiq menyelenggarakan pengajian yang secara
khusus diikuti oleh para kiai, akademisi, dan birokrat di Kabupaten Jember.
Di lingkungan NU, karir KH Achmad Shiddiq
di mulai dari Jember. Tidak lama setelah itu, KH Achmad Shiddiq
aktif di NU wilayah Jawa Timur, hingga terpilih ketua
umum tingkat wilayah. Karirnya terus berkembang hingga pada
Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur yang
mengantarkannya ke kursi Ra’is ‘Am PBNU periode 1984-1989. Terangkatnya KH
Achmad Shiddiq sebagai Ra’is ‘Am PBNU waktu itu bukan tanpa alasan. KH Achmad
Shiddiq tampaknya sudah lama di lirik oleh para tokoh NU, di karenakan
kepiawaian, kepandaian, dan kecerdasannya.
Duet kedua tokoh yang berlangsung sejak
muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Pesantren Asembagus, Stubondo
Jawa Timur, dinilai sebagai tokoh yang sanggup merangkul kembali
para sesepuh NU yang sempat bercerai berai akibat mufaraqah-nya
(pemisahan diri) K.H. As’ad Syamsul Arifin sehubungan dengan
penolakannya terhadap kepemimpinan PBNU hasil Muktamar
ke-28 di Yogyakarta. Menjelang Muktamar NU ke-28, kesehatan KH
Achmad Shiddiq terus memburuk. Ia mengidap penyakit kronis yang
menderanya sejak lama; kencing manis, jantung, ginjal, hati, saraf,
dan oestoporosis (tulang keropos). Anehnya, dalam kondisi yang kritis, warga NU
tetap menginginkannya untuk memangku jabatan Ra’is ‘Am.
KH Achmad Shiddiq jatuh sakit
ketika menghadiri Munas Majelis Ulama Indonesia di Jakarta pada
tahun 1990. Setahun kemudian (1991), KH Achmad Shiddiq
terbaring dengan tubuh tak berdaya di kamar inap RS Dr. Soetomo.
Kepada pengurus PBNU, Kiai sempat mengatakan, “Tugas saya di NU sudah
selesai.” Kalimat ini sekaligus menjadi penanda bahwa ajal akan tiba. Tepat
pada tanggal 23 Januari 1991, KH Achmad Shiddiq mengembuskan nafas
terakhir. Tetapi, sebelum meninggal Kiai Achmad pernah
berpesan kepada keluarganya agar dikubur bersama di pemakaman para
penghafal al-Qur’an di kompleks Pondok Pesantren Ploso, Mojo Kediri, yang
juga diyakini sebagai makam para wali (Auliya’) penghafal
al-Qur’an.
Karya
KH. Achmad Siddiq
Meskipun KH. Achmad Siddiq tidak termasuk
kiai yang produktif menulis, tidak sedikit karya yang sempat
dipublikasikan, meskipun tidak semuanya dalam bentuk buku utuh.
Dari hasil penelusuran terhadap berbagai sumber, diperoleh informasi karya
tulis KH. Achmad Siddiq, antara lain:
a. Pedoman
Berpikir Nahdlatul ‘Ulama (al-FikraH an-Nahdhiyyah). Buku ini
membahas Lima Dalil Perjuangan yaitu dasar-dasar pikiran yang
dipergunakan imam-imam mujtahid di dalam berijtihad atau ber-istinbath
tentang masalah-masalah hukum agama Islam, seperti tentang: jihad fi
sabilillah, izzul islam wal muslimin, at-tawasuth/al-i’tidal/at-tawazun, saddud
dzari’ah dan amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu juga membahas
kaidah-kaidah didalam mengolah dalil-dalil dan dasar-dasar hukum (berijtihad
dan beristinbath oleh Imam-Imam Mujtahid terutama Imam Syafi’i), seperti
tentang: (1) segala sesuatu dinilai menurut niatnya, (2) bahaya harus disingkirkan,
(3) adat kebiasaan dikukuhkan, (4) sesuatu yang sudah yakin tidak boleh
dihilqangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, dan (5) kesukaran
(kemasyakatan) membuka kelonggaran.
b. Khiththah
Nahdhiyyah. membahas secara detail ciri jamaah diniyah, kedudukan
ulama, ahlusunnah wal jamaah, bahaya-bahaya bagi kemurnian
ajaran agama Islam, karakter at-tawassuth waal-i’tidal,
pola berorganisasi, konsepsi dakwah, mabarrat, ekonomi, muamalah,
dan penutup ‘izzu al-Islam wa al-Muslimin. Buku ini terus
mengalami cetak ulang, terakhir diterbitkan oleh Penerbit Khalista Surabaya.
c. Islam,
Pancasila, dan Ukhuwwah Islamiyyah, membahas garis-garis besar Islam,
Islam Indonesia, hubungan Pancasila dengan Islam, pengembangan
Ukhuwwah Islamiyyah, dan integrasi nasional.
d. Pemikiran
K.H. Achmad Siddiq. Buku ini berisi konsepsi seputar akidah,
syariat, tasawuf, dan khitthah NU 1926, hubungan agama dan
Pancasila, negara RI bentuk Final, watak sosial ahlusunnah,
serta seni dan agama.
e. Norma-norma
Pancasila menurut Pandangan Islam. Tulisan ini
menjelaskan hubungan antara agama Islam dan
Pancasila dan mendudukkan antara keduanya pada kedudukan yang
semestinya, sehingga keduanya tidak perlu dipertentangkan.
g. Hubungan
Agama dan Pancasila, karya yang menjelaskan hakikat
Islam dan berbagai variannya, kemudian dijelaskan
materi Pancasila, hubungan antara Islam dan Pancasila,
sehingga menjadi sebuah ideologi bangsa Indonesia.
i. Pemulihan Khittah
Nahdlatul Ulama, makalah yang didiskusikan di
rumah KH. Masykur, Jl. Imam Bonjol 22, Jakarta,
13 Desember 1983), sebagai bahan Munas (Musyawarah Nasional)
alim ulama di Situbondo Jawa Timur.
j. Pengembangan
Ukhuwwah Islamiyyah, makalah, tidak diketahui identitasnya.
Tulisan ini menjelaskan tiga wawasan, yaitu wawasan
keagamaan, kemasyarakatan, dan kesemestaan (universalitas).
Ketiga wawasan ini terwujud dalam tri-ukhuwwah, yakni ukhuwwah
Islamiyyah, wathaniyyah dan basyariyyah.
k. Dzikr al-Ghafilin li
Man ahabba an Yuhsyar ma’ al-Auliya’ wa
al-Shalihin, majmu’ah min ba’dh Ashhab al-Du’a
wa al-Ijazah. Buku ini diterbitkan tanpa tanggal
dan tahun, berisi tentang asma’al-husna, tawashshulbial-fatihah,
shalawat al-muqarrabin, berbagai doa, dan lain-lain.
Buku ini kemudian dijadikan pedoman jamaahnya dalam
pelaksanaan wirid Dzikir al-Ghafilin.
Selain karya-karya tersebut, juga terdapat
karya sejumlah ahli yang membahas pemikiran KH. Achmad Siddiq, antara lain, karya:
Einar Martahan Sitompul, M. Th., karya Prof. Dr. M. Rasjidi, dan karya
Prof. Mr. Syafruddin Prawiranegara. Karya Einar Martahan Sitompul, M. Th.,
tentang NU dan Pancasila, Tesis S.2. 1989. Karya ini menjelaskan secara
akademik pemikiran KH. Achmad Siddiq tentang NU dan Asas Tunggal Pancasila,
tentang Islam dan Pancasila, dan sebagainya.
Karya Prof. Dr. M. Rasjidi dalam Hendak
Dibawa Kemana Umat Ini?, 1988. Karya ini secara kritis menyoroti karya dan
pemikiran KH. Achmad Siddiq terkait Hubungan Islam dan Pancasila dan konsep
tri-ukhuwwah, yakni: ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyah, dan ukhuwwah
basyariyah. Guru Besar Filsafat Islam dan mantan Menteri Agama tersebut
menilai pemikiran Kiai Achmad tidak jelas dan membingungkan umat.
Demikian juga penilaian Prof. Mr.
Syafruddin Prawiranegara dalam Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Insaniyah, 1988,
secara spesifik menyoroti pemikiran tentang tri-ukhuwwah, yakni: ukhuwwah
islamiyah, ukhuwwah wathaniyah, dan ukhuwwah basyariyah yang dinilai
membingungkan.
Namun demikian, pemikiran yang tercover
lewat sejumlah karya dan satu karya para ahli yang mengkaji pemikiran KH.
Achmad Siddiq, menunjukkan bahwa karya KH. Achmad Siddiq bukan hanya menyita
pemikiran KH. Achmad Siddiq, tetapi juga memperoleh respons dari berbagai
kalangan. Namun para pengkaji masalah keislaman dan kebangsaan, banyak yang
memberikan respons positif terhadap karya-karya dan pemikiran KH. Achmad
Siddiq.
Kerangka Pemikiran KH. Achmad Siddiq
Sebagaimana dikemukakan dalam usaian
sebelumnya, bahwa kebesaran KH. Achmad Siddiq bukan diukur dari sejumlah kitab
dan buku-buku yang ditulis, karena KH. Achmad Siddiq memang bukan seorang
jurnalis dan penulis produktif. Melainkan dari produk “ijtihad” yang
berimplikasi panjang dan mendasar, bahkan bersifat revolusioner terhadap
kehidupan dan pemikiran keislaman dan kebangsaan.
Dalam berbagai momentum, KH. Achmad Siddiq
selalu pro-aktif menyikapi problem aktual dari perspektif keislaman dan
kebangsaan. Penyikapan beliau selalu berpijak dari pedoman berpikir atau
kerangka berpikir keagamaan yang beliau design sendiri secara sederhana
sejak tahun 1960-an dan dikenal dengan konsep “Fikroh Nahdliyah, berisi Lima
dalil Perjuangan dan Lima dalil Hukum”.
Menurut KH. Achmad Siddiq, yang dimaksud
lima dalil perjuangan adalah patokan-patokan pikiran didalam menanggapi soal
perjuangan di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan lain-lain,
sekaligus penyusunan program perjuangan dan pelaksanaan program perjuangan.
Lima dalil perjuangan dimaksud, meliputi: (1) Jihad Fi Sabulillah, (2) Izzul
Islam wal Muslimin, (3) At-Tawassuth/Al-I’tidal/At-Tawazun, (4) Saddudz
Dzari’ah, dan (5) Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Sedang yang dimaksud lima dalil hukum oleh
Kiai Achmad adalah patokan-patokan pikiran yang dipergunakan imam-imam mujtahid
di dalam berijtihad/beristimbath tentang masalah-masalah hukum agama Islam,
terutama oleh imam-imam madzhab syafi’i.
Lima dalil hukum dimaksud, meliputi: (1)
segala sesuatu dinilai menurut niatnya, (2) bahaya harus disingkirkan, (3) adat
kebiasaan dikukuhkan, (4) sesuatu yang sudah yakin tidak boleh dihilangkan oleh
sesuatu yang masih diragukan, dan (4) kesukaran (kemasyakatan) membuka
kelonggaran.
Dengan demikian, menurut KH. Achmad
Siddiq, lima dalil perjuangan digabungkan dengan lima dalil hukum ini
merupakan sepuluh dalil berpikir, ibarat dua pasang mata secara bersama
dipergunakan melihat, meneliti dan menilai segala sesuatu, termasuk persoalan
keagamaan, persoalan kebangsaan, dan sebagainya..
Meskipun demikian, tidaklah dimaksudkan
dengan mengerti dan memahami lima dalil hukum ini saja, kemudian kita menjadi
mujtahid di bidang hukum fighiyah, karena untuk memiliki kewenangan berijtihad
diperlukan syarat-syarat khusus yang meliputi seluk beluk Qur’an, Hadits, Qiyas
dan bahasa arab yang mendalam. Dengan memahami ini, dimaksudkan supaya kita
lebih mudah dan lebih menyadari kebenaran madzhab Syafii khususnya dan jalan
pikiran Ahlussunnah Wal Jamaah pada umumnya.
Menurut Dr (HC) KH. Afifuddin Muhajir,
berpikir dari perspektif keagamaan seperti yang dilakukan oleh KH. Achmad
Siddiq juga banyak dikemukakan oleh kiai-kiai, yang memiliki keahlian dalam
filsafat dan kaidah-kaidah hukum Islam, namun ditangan KH. Achmad Siddiq,
pandangan keagamaan seperti itu bisa diungkap secara aktual dengan ungkapan
yang menarik sehingga membuat pendengar sangat tertegun.
Itu juga bagian dari kemampuan KH. Achmad
Siddiq dalam berkomunikasi, dan menyoroti permasalahan yang sedang terjadi,
segala sesuatu dilihatnya dari kerangka berpikir keagamaan, yang beliau sebut
sebagai dalil perjuangan dan dalil hukum, termasuk ketika berpikir tentang
keislaman dan kebangsaan.
Hal yang paling berkesan bagi kami yang
belajar pada beliau adalah ketika memetakan pemikiran keislaman dalam konteks
yang berubah, termasuk pemikiran keislaman dan kabangsaan. Menurut beliau, hal
yang pertama harus diposisikan secara benar bahwa Islam adalah “wadl’un
ilahiyyun” (buatan Tuhan), Pancasila adalah “wadl’un basyariyyun”
(buatan manusia). Ini yang tidak boleh saling dipertukarkan.
Dalam “wadl’un ilahiyyun” (buatan Tuhan), ada ranah “ma’lumun minad diyni
bidh-dharuroh” dan “ma’lumun minad diyni bil ijtihad”. Ranah “ma’lumun
minad diyni bidh-dharuroh” adalah ranah yang tidak perlu diperdebatkan, harus
diterima sebagai bentuk ketundukan seorang hamba kepada penciptanya, sedang
ranah “ma’lumun minad diyni bil ijtihad” adalah ranah yg masih bisa
diperdebatkan dan didiskusikan.
Dengan demikian dalam “wadl’un
basyariyyun” (buatan manusia) sangat terbuka untuk diperdebatkan, didiskusikan,
yang penting tujuannya jelas untuk mencapai kemashlahatan, salah satu yang
termasuk dalam ranah ini adalah Pancasila, ukhuwwah wathaniyah, dan sebagainya.
Oleh karena itu,
ketika Munas 1983 KH. Achmad Siddiq secara memukau mampu memberikan argumentasi
penerimaan Azaz Tunggal Pancasila dengan argumen keagamaan, historis dan
sosiologis yang memukau. Secara agama, Islam dan Pancasila tidak perlu
dipertentangkan karena memang tidak bertentangan bahkan saling memperkuat, secara
historis perumus Pancasila mayoritas tokoh-tokoh Islam, dan secara sosiologis
“ibarat makanan Pancasila sudah kita makan 38 tahun lamanya (1945-1983), kok
baru sekarang dipertanyakan halal haramnya”.
Peranan dan Ketokohan KH. Achmad Siddiq
menurut KH. Abdul Muchith Muzadi adalah: meluruskan pancasila yang sudah carut
marut dengan politik kekuasaan; meletakkan pancasila sebagai dasar negara dan
Agama sebagai dasar hidup kita, dan mampu meyakinkan tokoh-tokoh NU yang
awalnya menolak asas pancasila dalam forum Munas Alim Ulama.
Selanjutnya, KH. Abdul Muchith Muzadi juga
menegaskan bahwa pemikiran KH. Achmad Siddiq yang paling utama adalah bahwa:
Pancasila sebagai asas, Islam sebagai aqidah. Menempatkan Islam sebagai asas
organisasi kemasyarakatan, keagamaan maupun organisasi politik adalah
mengkredilkan Islam. Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan
saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan.
Alasan Syar’iyyahnya: Amanu
waamilussholihah, beriman dan beramal sholeh, amal - amal yang baik. Yang
dimaksud Amanu adalah berbentuk sila pertama, KETUHANAN YANG MAHA ESA.
Amal-amal yang baik adalah 4 perbuatan baik yang terdapat pada 4 sila
berikutnya
Kesan Mbah Muchith terhadap pemikiran KH.
Achmad Siddiq. “Alhamduliilah, saya bersyukur bangsa Indonesia oleh Tuhan
diberi pemimpin yang namanya Kiai Achmad Siddiq yang bisa membedakan aqidah
Islamiyah dan aliran politik Islam.” “Pemimpin Islam seperti KH. Achmad Siddiq
inilah yang pantas memegang kata kunci ‘Iya/Tidaknya’ Pancasila itu. Pancasila
bukan Agama, Agama bukan Pancasila.”
Selanjutnya, Hasil Muktamar ke-27 Tahun
1984 di Situbondo, berupa: Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila Dengan Islam,
sebagai berikut:
- Pancasila
sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak
dapat rnenggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama.
- Sila
Kehutanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut
pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang
lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
- Bagi
Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari'ah, meliputi aspek hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
- Penerimaan
dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam
Indonesia untuk menjalankan syari'at agamanya.
- Sebagai
konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekwen oleh semua fihak.
Penutup
Kata kunci pemikiran keislaman dan
kebangsaan seperti ini sering kami cermati dan juga diikuti oleh santri pada
masa tahun 1980-an dalam forum-forum pengajian khusus santri, pengajiann umum
maupun pengajian khusus kalangan dosen dan birokrat. Pengajian khusus santri
dengan tema “ad-Diynul Islamy” setiap malam Jum’at paling diapresiasi karena
KH. Achmad Siddiq parti menyajikan agenda pemikiran keislaman dan kebangsaan
terkini yang berkembang di Indonesia dan di dunia Islam, dan santri masih
berkesempatan mengikuti pengajian umum malam Senin, atau pengajian khusus dosen
dan birokrat pada malam Selasa yang biasanya diikuti santri senior.
Ini hanya rekaman pengalaman pribadi
berguru pemikiran keislaman dan kebangsaan kepada KH. Achmad Siddiq. Setelah
sekitar 30 tahun KH. Achmad Siddiq wafat, dan saya menjalani masa pengabdian
cukup panjang di organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, saya tetap merasakan
apa yang pernah beliau ajarkan tetap memiliki kemanfaatan besar, mungkin inilah
berkah beliau mendidik kami dengan penuh keteladanan dan keikhlasan. Semua
santrinya memanggilnya dengan sebutan Murobby KH. Achmad Siddiq, karena beliau
mendidik kami benar-benar dari hati ke hati dan penuh kasih sayang.
DAFTAR
PUSTAKA
Huda,
Afton Ilman, (editor Abd. Halim Soebahar, Biografi Mbah Shiddiq. Jember:
Al-Fattah Press
Nahid,
Abu, dan Kerabat Aula, ed., 1992, Pemikiran KH. Achmad Siddiq tentang:
Akidah, Syariah, dan Tasawuf, Khittah NU 1926, Hubungan Agama dan pancasila,
Negara RI Bentuk Final, Watak Ahlussunnah, dan Seni dan Agama, Surabaya:
Majalah Aula Jawa Timur.
Noeh,
Munawar Fuad, 1985, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH Ahmad
Shiddiq
Latief,
KHM, Hasyim. 1995. Laskar Hizbullah.Jakarta:LTN-NU
Ricklefs,
M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Siddiq,
Achmad, Khittah Nahdliyah, Surabaya: Khalista.
Siddiq,
Achmad, 1992, Fikroh Nahdliyah, Surabaya: FOSNNU.
Siddiq,
Achmad, 1985, Islam, Pancasila dan Ukhuwah Islamiyah, Surabaya: PWNU
Jawa Timur.
Siddiq,
Achmad, 1992, Pemikiran KH. Achmad Siddiq tentang Aqidah Syariah dan
tasawuf, Khittah NU 1926, Hubungan Agama dan pancasila, Negara RI Bentuk Final,
Watak Sosial Ahlussunnah, Seni dan Agama, Surabaya: PWNU Jawa Timur.
Siddiq,
Achmad, t.t., Dzikrul Ghafilin, Jember.
Suprapto,
M. Bibit 2003, Buku Pintar Nahdlatul Ulama, Malang
Syihab,
Alwi, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga kini di
Indonesia,
Shiddiq,
Abdul Halim KH, t.t., Pengantar Tarikh Hayatul Marhum KH Muhammad Shiddiq,
Jember: PP Al-Fattah.
Soebahar,
Abd. Halim, 1996, KH. Achmad Siddiq: Biografi, Perjuangan dan Pemikirannya
tentang Pendidikan Islam, Jember: P3M Fakultas Tarbiyah Jember IAIN Sunan
Ampel.
Soebahar,
Abd. Halim, dkk, 2015, KH. Achmad Siddiq dan Pemikiran Tentang Islam Indonesia,
Jember: LP3M IAIN Jember.
Zuhri,
Saifuddin, 1979, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
Bandung: Al-Maarif.